Minggu, 12 Mei 2013

Senja Senja Bersama Fajar



Dear Fajar...
Ini speciall, teruntuk kamu (fajar-ku)
. Taukah kamu bahwa langit senja tak lagi jingga seperti waktu itu? tentu saja, karena sekarang aku menatapnya sendiri, tanpa kamu. Taukah kamu bahwa pagi tak lagi sumringah seperti dulu? Tentu saja, karena aku tak mengawalinya bersama kamu, tak ada lagi secangkir teh yang kita kita nikmati berdua. Tak ada lagi senyum merekah tulusmu. Mungkin tak banyak yang bisa kutulis malam ini, karena jantung kerinduan ini hanya berdetakkan namamu.
                                                                                                Yang teramat merindukanmu,
                                                                                                           
                                                                                                            Senja
Satu jam berlalu setelah mentari menghilang meninggalkan senja, menjemput malam. Pergantian itu kunikmati sendiri, dengan segenap kegundahan hati. Rembulan pun enggan menyunggingkan senyum tipisnya malam ini, seperti bersekutu dengan bintang untuk melengkapi kesendirianku. Tapi aku tidak sendiri, malam ini telah menyatu dengan kelam, mengundang semilir angin yang dinginnya mampu menembus setiap pori hingga menusuk tulang. Tiupan angin itu pula yang menerbangkan bayangan dia dan menebarkannya di depan mata dan pikiranku.
Namaku Senja, dan namanya Fajar. Itulah yang kami tahu semenjak perkenalan di penghujung Agustus lima tahun yang lalu. Entah dari arah mana dia datang tiba-tiba dan duduk di sampingku. “Tidak sopan sekali lelaki ini”, hal itulah yang terlintas dibenakku saat pertama kali mengenalnya.
“Ngapain kamu duduk sendirian di sini? Ngelamun lagi, ntar kesurupan lho.”
“Aku ngga ngelamun kok. Aku cuma ingin menikmati senja, coba kamu lihat, indah sekali kan?”
“Iya, sama seperti kamu.”
Aku terdiam mendengarkan kata-kata yang tiba-tiba terlontar dari lelaki yang baru aku kenal beberapa menit yang lalu itu. Andai saja dia tahu, aku bukan sekedar suka menatap senja, tapi ada rasa lain yang diam-diam merasukiku. Aku iri pada senja, yang mampu  memberikan kedamaian bagi banyak orang yang memandangnya. Aku merasa tak pantas menjiplak namanya, senja itu terlalu indah, tidak seperti aku yang membuat khawatir semua orang.
 “Ah fajar, aku ini tak layak kau samakan dengan senja. Andai saja kau tahu, aku tak seindah itu.”
“Aku serius lho, kamu itu beda. Pertama kali melihat kamu, entah mengapa aku merasa kamu itu spesial.”
“Aku gadis 20 tahun yang positif mengidap Leukimia. Bahkan dokter memvonis bahwa aku tak akan bisa bertahan lama.”
Tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari bibirku kepada lelaki yang baru saja aku kenal. Tapi tak sedikitpun gurat wajah kaget kutemui dari lelaki itu, bahkan dia tampak tenang dan menanggapi biasa-biasa saja kalimatku. Laki-laki ini juga seolah mampu mencairkan seorang aku yang dingin, beku, dan akan lebih memilih diam saat orang-orang mengajakku bicara. Jangankan untuk menanggapi mereka, untuk sekedar tersenyum tipis pun aku jual mahal, karena itulah aku lebih suka menyendiri di sini, di tepi danau ini.
“Aku  tak percaya bahwa penyakit itu membunuh. Aku paling benci, mendengar dokter yang memvonis pasiennya bahwa tidak akan bisa hidup lebih lama. Bagiku kematian  itu sangat dekat bagi siapa saja, tanpa terkecuali.”
Dia tersenyum tipis kepadaku. Dengan tatapan sayu yang menyiratkan kekosongan, aku balas senyuman tipis itu. Aku tahu, dia hanya menghiburku agar tak terlalu memikirkan penyakitku. Tapi kurasa percuma, bagaimanapun, aku akan lebih dulu pergi. Meski Fajar bilang bahwa kematian itu sangat dekat dan akan menghampiri siapa saja, tentu aku yang memiliki alasan kuat untuk pergi lebih dulu. Aku akan meninggalkan mama, papa, keluarga tercinta, dan aku akan meninggalkan kamu, lelaki bermata malaikat yang tanpa aku sadari telah mampu membuat aku lebih sering tersenyum akhir-akhir ini.
*        *          *
Sepi semakin merajai malam. Dentingan sebelas kali dari arah ruang tamu membuyarkan lamunanku. 23.00 WIB, saat aku lirik jam di ponselku. Satu jam lagi menuju tengah malam tak lantas meredupkan sepasang mataku yang benar-banar tak ingin terpejam. Kerinduan ini telah menjadi alasan utama yang membuatku enggan untuk memanjakan mata lelah ini.
Fajar, seperti manusia berhati malaikat yang dikirimkan Tuhan untukku. Dengan sabar selalu membimbingku di saat aku salah. Apalagi ketika aku benar-benar putus asa karena penyakitku yang makin hari makin parah. Wajah yang semakin pucat pasi, kurus kering, membuatku sering mengeluh dan menangis sendiri. Aku sering tak kuasa menahan sakit yang menggerogoti seluruh tubuhku, entah dari mana asal sakit itu, entah dari tulang belulang, yang aku tahu, sakit itu seperti telah menyatu dengan tubuhku. Ditambah lagi dengan darah segar yang seringkali menetes lewat hidung, membuatku semakin kehilangan semangat untuk bertahan hidup. Di saat-saat seperti itu fajar selalu ada untukku, menasihati dan mengalirkan semangat hidup yang luar biasa bagiku.
“Fajar, kalau aku boleh memilih, aku  lebih baik mati saja daripada harus menderita sakit seperti ini, membuat khawatir dan menyusahkan banyak orang. Aku merasa tidak berguna. Hidupku seperti sia-sia.” Itulah kalimat yang pernah kuucapkan kepada fajar pada suatu senja, di tepi danau tempat kami biasa menghabiskan senja di sana, tempat kami pertama kali bersua. Sepasang mata lembut itu kembali menatapku, dan tersenyum amat manis sekali. Senyuman itu seperti membuatku menyesal telah mengucapkan kata-kata tadi.
“Ssstt....kamu tidak boleh bicara seperti itu lagi. Senja, kehidupan itu adalah hadiah yang diberikan Tuhan kepada setiap orang, dan kamu harus bersyukur dengan hidupmu. Kamu harus bersyukur disayangi banyak orang. Ada mama dan papa yang selalu menjaga kamu, ada keluarga, sahabat yang selalu tulus sama kamu, dan juga ada aku. Aku janji, akan membuat senja-senja kamu lebih indah.”
Lagi-lagi Fajar, kembali meyakinkanku untuk bertahan hidup. Meskipun dalam kondisi yang semakin lama semakin parah, aku selalu berusaha untuk tetap tersenyum untuk meyakinkan semua orang bahwa aku tidak apa-apa, meskipun sebenarnya yang kurasakan berbeda jauh dengan yang aku perlihatkan kepada semua orang.
Senja ini, setelah seminggu terbaring di kamar karena kondisi kesehatanku yang menurun drastis, aku menelepon Fajar agar menjemputku untuk menikmati senja di tepi danau. Meskipun dalam kondisi yang sebenarnya sangat lemah, tapi aku rindu sekali tepian danau tempat kami menatap lembayung indah di langit senja. Sebenarnya fajar sangat menghawatirkan kesehatanku, tapi karena aku tetap bersikeras meyakinkannya bahwa aku tidak apa-apa, akhirnya fajar menjemputku ke rumah. Mama dan papa sebenarnya juga sangat berat melepasku untuk keluar rumah. Tapi karena aku ngotot untuk tetap ingin pergi akhirnya mereka pun mengizinkan untuk sebentar saja.
Danau ini terlihat berbeda dari biasanya. Entah karena aku yang sudah lama tidak mengunjunginya, atau memang karena alam yang ingin terlihat lebih anggun di depan kami berdua. Terutama di depan aku yang mungkin saja tidak akan punya waktu lagi menikmati senja di sini bersama fajar. Tak banyak yang bisa terucap dari bibirku. Aku lebih menikmati senja ini dalam diam, sesekali melirik  fajar yang juga lebih memilih untuk bungkam. Hening, hanya riak-riak danau yang menepi bersama tiupan angin yang sesekali terdengar memecah sepi. Aku menatap jauh ke ujung sana, dengan tatapan setengah kosong yang aku sendiri juga tak tau artinya. Tiba-tiba mataku serasa semakin sayu, kepalaku berat sekali, dan kedua kakiku tak kuasa lagi menopang tubuhku. Semakin lama seberang danau yang sejak tadi kutatap semakin memudar, membayang, lalu hilang. Hanya gelap yang membawaku ke negeri antah berantah.
*        *          *
“Kita harus melakukan pencangkokan sumsum tulang belakang pak”, kata dokter yang menanganiku kepada papa.
“Apa pencangkokan ini akan berhasil menyelamatkan nyawa putri saya dok?”
“Semoga saja pak, kalau tubuh senja menerima sumsum tulang yang baru, maka ada harapan bagi Senja untuk sembuh. Tapi..”
“Tapi apa dok?”
“Kita berdoa saja pak, semoga tidak terjadi penolakan dari tubuh resipien, dan semua bisa berjalan lancar.”
Semua begitu mencemaskankan keselamatanku. Transplantasi sumsum tulang yang baru saja dilakukan tentu saja memunculkan segala kemungkinan, kemungkinan untuk sembuh, atau aku akan pergi selama-lamanya. Entah sekarang aku dalam keadaan sadar ataupun tidak, tapi bayangan orang-orang terdekatku seperti nyata tersenyum ke arahku dan memintaku untuk bertahan. “Aku harus kuat, dan semua akan baik-baik saja.”
Beberapa hari setelah transplantasi itu dilakukan, kondisiku makin membaik. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa tubuhku menolak sumsum baru itu. Hanya saja  tubuhku masih terasa sangat lemah. Dua minggu berlalu, dokter sudah mengizinkanku untuk pulang meskipun harus rutin ke Rumah Sakit untuk melakukan terapi-terapi lanjutan.
Penghujung Agustus ke-empat setelah aku bertemu Fajar pada suatu senja di danau itu. Itu berarti 29 Agustus ke-empat pula yang telah aku rayakan bersama Fajar. Tepat pada hari kepulanganku dari Rumah Sakit, dan hari ini adalah hari jadiku yang ke-24. Aku sangat senang, bahkan harapan-harapan kehidupan baru bermunculan lagi di depan mataku. Aku membayangkan hari-hari yang akan lalui bersama mama, papa, Fajar, dan juga sahabat-sahabat yang sangat aku sayangi. Meskipun kematian itu dekat, tapi setidaknya, Leukimia yang aku derita selama ini tidak lagi menyakiti tubuhku lebih lama lagi. Tentu saja aku hanya termasuk sebagian kecil orang yang mampu bertahan dari Leukimia. Aku beruntung sekali, terutama memiliki keluarga dan juga Fajar yang selalu mengalirkan energi kehidupan kepadaku.
“Senja, hari ini adalah hari yang yang sangat membahagiakan dalam hidupku, bisa melihat kamu tersenyum manis dari biasanya. Aku janji, akan membuat senja-senjamu lebih indah lagi. Tunggu aku di tepi danau tempat biasa, datang sendiri yah, karena senja ini paling spesial.”
Satu pesan masuk di ponsel-ku yang bertuliskan nama fajar. Tak terbayangkan betapa bahagianya hatiku saat ini. Dua Puluh Sembilan Agustus, tepat pada hari jadiku. Dan Fajar pasti telah mempersiapkan kejutan spesial sebagai hadiah ulang tahunku.
Mentari lebih cerah dari senja-senja sebelumnya. Seluruh jagad raya seakan ikut merayakan kesembuhanku. Aku tidak sabar menunggu senja ini. Setelah berdandan seanggun mungkin dengan balutan busana Ungu kesukaanku, aku minta diantar papa ke Danau yang terletak tidak terlalu jauh dari rumahku. “Fajar, aku begitu merindukan saat-saat ini.
Dua Puluh menit berlalu, aku masih duduk dengan sabar menunggu kedatangan Fajar. Danau kenangan itu menatap heran kepadaku, mungkin karena Fajar yang tidak biasanya membiarkanku menunggu. Sudah terlalu lama aku duduk terpaku di sini. Langitpun semakin indah dengan Jingganya. Burung-burung beterbangan di atas kepalaku seolah memberikan pesan yang tidak terbaca olehku. Semilir angin semakin dingin membungkus kulitku. Dengan sebongkah harapan yang teramat sangat aku masih menunggu Fajar di sini, di danau tempat kami menikmati senja yang perlahan berganti malam. Tiba-tiba ponsel-ku berdering. Tanpa melihat nama penelpon yang tertulis di ponsel, aku segera menjawab telepon itu.
“Senja, kamu lagi dimana?”
“Aku di tepi danau tante, menunggu Fajar, “jawabku seadanya.
“Kamu harus ke Rumah Sakit sekarang.” Dengan suara serak dan tangis tertahan perempuan itu mematikan sambungan teleponnya.
*        *          *
Fajar, tanpa terasa sudah genap 365 hari kepergianmu. Aku masih tak percaya dengan kejadian itu. Kamu itu benar-benar seperti malaikat yang sepenuhnya menginginkan kesembuhanku. Hari ini, adalah hari yang sangat bersejarah bagiku. Hari dimana kamu mengajarkan arti pertemuan dan sekaligus perpisahan untukku. Fajar, meskipun kita berada pada dimensi yang bebeda, tapi tak lantas bisa memudarkan kamu dari hatiku. Kamu adalah kenangan dalam keabadian yang telah mampu mengajarkanku akan arti kehidupan. Meskipun bagi mereka kamu telah tiada, tapi bagiku, kamu akan hidup selamanya.
Tepat jam 03.00 mata ini masih terjaga. Bayangan Fajar masih menari-nari di kepalaku. Semua hari-hari yang kulalui bersamanya begitu membekas dan tak bisa hilang begitu saja. Sepasang mata ini benar-benar tidak bisa terpejam, tetap terjaga, hingga fajar menyingsing menjemput pagi.

Padang, Mei 2013