Dear Fajar...
Ini speciall,
teruntuk kamu (fajar-ku)
.
Taukah kamu bahwa langit senja tak lagi jingga seperti waktu itu? tentu saja,
karena sekarang aku menatapnya sendiri, tanpa kamu. Taukah kamu bahwa pagi tak
lagi sumringah seperti dulu? Tentu saja, karena aku tak mengawalinya bersama
kamu, tak ada lagi secangkir teh yang kita kita nikmati berdua. Tak ada lagi
senyum merekah tulusmu. Mungkin tak banyak yang bisa kutulis malam ini, karena
jantung kerinduan ini hanya berdetakkan namamu.
Yang
teramat merindukanmu,
Senja
Satu jam berlalu setelah mentari
menghilang meninggalkan senja, menjemput malam. Pergantian itu kunikmati
sendiri, dengan segenap kegundahan hati. Rembulan pun enggan menyunggingkan senyum
tipisnya malam ini, seperti bersekutu dengan bintang untuk melengkapi kesendirianku.
Tapi aku tidak sendiri, malam ini telah menyatu dengan kelam, mengundang
semilir angin yang dinginnya mampu menembus setiap pori hingga menusuk tulang. Tiupan
angin itu pula yang menerbangkan bayangan dia dan menebarkannya di depan mata
dan pikiranku.
Namaku Senja, dan namanya Fajar. Itulah yang
kami tahu semenjak perkenalan di penghujung Agustus lima tahun yang lalu. Entah
dari arah mana dia datang tiba-tiba dan duduk di sampingku. “Tidak sopan sekali
lelaki ini”, hal itulah yang terlintas dibenakku saat pertama kali mengenalnya.
“Ngapain kamu duduk sendirian di sini? Ngelamun
lagi, ntar kesurupan lho.”
“Aku ngga ngelamun kok. Aku cuma ingin
menikmati senja, coba kamu lihat, indah sekali kan?”
“Iya, sama seperti kamu.”
Aku terdiam mendengarkan kata-kata yang
tiba-tiba terlontar dari lelaki yang baru aku kenal beberapa menit yang lalu
itu. Andai saja dia tahu, aku bukan sekedar suka menatap senja, tapi ada rasa
lain yang diam-diam merasukiku. Aku iri pada senja, yang mampu memberikan kedamaian bagi banyak orang yang
memandangnya. Aku merasa tak pantas menjiplak namanya, senja itu terlalu indah,
tidak seperti aku yang membuat khawatir semua orang.
“Ah
fajar, aku ini tak layak kau samakan dengan senja. Andai saja kau tahu, aku tak
seindah itu.”
“Aku serius lho, kamu itu beda. Pertama kali
melihat kamu, entah mengapa aku merasa kamu itu spesial.”
“Aku gadis 20 tahun yang positif
mengidap Leukimia. Bahkan dokter memvonis bahwa aku tak akan bisa bertahan
lama.”
Tiba-tiba saja kalimat itu terlontar
dari bibirku kepada lelaki yang baru saja aku kenal. Tapi tak sedikitpun gurat
wajah kaget kutemui dari lelaki itu, bahkan dia tampak tenang dan menanggapi
biasa-biasa saja kalimatku. Laki-laki ini juga seolah mampu mencairkan seorang
aku yang dingin, beku, dan akan lebih memilih diam saat orang-orang mengajakku
bicara. Jangankan untuk menanggapi mereka, untuk sekedar tersenyum tipis pun
aku jual mahal, karena itulah aku lebih suka menyendiri di sini, di tepi danau
ini.
“Aku
tak percaya bahwa penyakit itu membunuh. Aku paling benci, mendengar
dokter yang memvonis pasiennya bahwa tidak akan bisa hidup lebih lama. Bagiku kematian
itu sangat dekat bagi siapa saja, tanpa
terkecuali.”
Dia tersenyum tipis kepadaku. Dengan tatapan
sayu yang menyiratkan kekosongan, aku balas senyuman tipis itu. Aku tahu, dia
hanya menghiburku agar tak terlalu memikirkan penyakitku. Tapi kurasa percuma,
bagaimanapun, aku akan lebih dulu pergi. Meski Fajar bilang bahwa kematian itu sangat
dekat dan akan menghampiri siapa saja, tentu aku yang memiliki alasan kuat
untuk pergi lebih dulu. Aku akan meninggalkan mama, papa, keluarga tercinta,
dan aku akan meninggalkan kamu, lelaki bermata malaikat yang tanpa aku sadari
telah mampu membuat aku lebih sering tersenyum akhir-akhir ini.
* * *
Sepi semakin merajai malam. Dentingan
sebelas kali dari arah ruang tamu membuyarkan lamunanku. 23.00 WIB, saat aku
lirik jam di ponselku. Satu jam lagi menuju tengah malam tak lantas meredupkan
sepasang mataku yang benar-banar tak ingin terpejam. Kerinduan ini telah
menjadi alasan utama yang membuatku enggan untuk memanjakan mata lelah ini.
Fajar, seperti manusia berhati malaikat
yang dikirimkan Tuhan untukku. Dengan sabar selalu membimbingku di saat aku
salah. Apalagi ketika aku benar-benar putus asa karena penyakitku yang makin
hari makin parah. Wajah yang semakin pucat pasi, kurus kering, membuatku sering
mengeluh dan menangis sendiri. Aku sering tak kuasa menahan sakit yang
menggerogoti seluruh tubuhku, entah dari mana asal sakit itu, entah dari tulang
belulang, yang aku tahu, sakit itu seperti telah menyatu dengan tubuhku. Ditambah
lagi dengan darah segar yang seringkali menetes lewat hidung, membuatku semakin
kehilangan semangat untuk bertahan hidup. Di saat-saat seperti itu fajar selalu
ada untukku, menasihati dan mengalirkan semangat hidup yang luar biasa bagiku.
“Fajar, kalau aku boleh memilih,
aku lebih baik mati saja daripada harus
menderita sakit seperti ini, membuat khawatir dan menyusahkan banyak orang. Aku
merasa tidak berguna. Hidupku seperti sia-sia.” Itulah kalimat yang pernah
kuucapkan kepada fajar pada suatu senja, di tepi danau tempat kami biasa
menghabiskan senja di sana, tempat kami pertama kali bersua. Sepasang mata
lembut itu kembali menatapku, dan tersenyum amat manis sekali. Senyuman itu
seperti membuatku menyesal telah mengucapkan kata-kata tadi.
“Ssstt....kamu tidak boleh bicara
seperti itu lagi. Senja, kehidupan itu adalah hadiah yang diberikan Tuhan
kepada setiap orang, dan kamu harus bersyukur dengan hidupmu. Kamu harus
bersyukur disayangi banyak orang. Ada mama dan papa yang selalu menjaga kamu,
ada keluarga, sahabat yang selalu tulus sama kamu, dan juga ada aku. Aku janji,
akan membuat senja-senja kamu lebih indah.”
Lagi-lagi Fajar, kembali meyakinkanku
untuk bertahan hidup. Meskipun dalam kondisi yang semakin lama semakin parah,
aku selalu berusaha untuk tetap tersenyum untuk meyakinkan semua orang bahwa
aku tidak apa-apa, meskipun sebenarnya yang kurasakan berbeda jauh dengan yang
aku perlihatkan kepada semua orang.
Senja ini, setelah seminggu terbaring di
kamar karena kondisi kesehatanku yang menurun drastis, aku menelepon Fajar agar
menjemputku untuk menikmati senja di tepi danau. Meskipun dalam kondisi yang
sebenarnya sangat lemah, tapi aku rindu sekali tepian danau tempat kami menatap
lembayung indah di langit senja. Sebenarnya fajar sangat menghawatirkan
kesehatanku, tapi karena aku tetap bersikeras meyakinkannya bahwa aku tidak
apa-apa, akhirnya fajar menjemputku ke rumah. Mama dan papa sebenarnya juga sangat
berat melepasku untuk keluar rumah. Tapi karena aku ngotot untuk tetap ingin
pergi akhirnya mereka pun mengizinkan untuk sebentar saja.
Danau ini terlihat berbeda dari
biasanya. Entah karena aku yang sudah lama tidak mengunjunginya, atau memang karena
alam yang ingin terlihat lebih anggun di depan kami berdua. Terutama di depan
aku yang mungkin saja tidak akan punya waktu lagi menikmati senja di sini
bersama fajar. Tak banyak yang bisa terucap dari bibirku. Aku lebih menikmati
senja ini dalam diam, sesekali melirik
fajar yang juga lebih memilih untuk bungkam. Hening, hanya riak-riak
danau yang menepi bersama tiupan angin yang sesekali terdengar memecah sepi. Aku
menatap jauh ke ujung sana, dengan tatapan setengah kosong yang aku sendiri
juga tak tau artinya. Tiba-tiba mataku serasa semakin sayu, kepalaku berat
sekali, dan kedua kakiku tak kuasa lagi menopang tubuhku. Semakin lama seberang
danau yang sejak tadi kutatap semakin memudar, membayang, lalu hilang. Hanya gelap
yang membawaku ke negeri antah berantah.
* * *
“Kita harus melakukan pencangkokan sumsum
tulang belakang pak”, kata dokter yang menanganiku kepada papa.
“Apa pencangkokan ini akan berhasil
menyelamatkan nyawa putri saya dok?”
“Semoga saja pak, kalau tubuh senja
menerima sumsum tulang yang baru, maka ada harapan bagi Senja untuk sembuh. Tapi..”
“Tapi apa dok?”
“Kita berdoa saja pak, semoga tidak
terjadi penolakan dari tubuh resipien, dan semua bisa berjalan lancar.”
Semua begitu mencemaskankan
keselamatanku. Transplantasi sumsum tulang yang baru saja dilakukan tentu saja
memunculkan segala kemungkinan, kemungkinan untuk sembuh, atau aku akan pergi
selama-lamanya. Entah sekarang aku dalam keadaan sadar ataupun tidak, tapi
bayangan orang-orang terdekatku seperti nyata tersenyum ke arahku dan memintaku
untuk bertahan. “Aku harus kuat, dan semua akan baik-baik saja.”
Beberapa hari setelah transplantasi itu
dilakukan, kondisiku makin membaik. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa
tubuhku menolak sumsum baru itu. Hanya saja
tubuhku masih terasa sangat lemah. Dua minggu berlalu, dokter sudah
mengizinkanku untuk pulang meskipun harus rutin ke Rumah Sakit untuk melakukan
terapi-terapi lanjutan.
Penghujung Agustus ke-empat setelah aku
bertemu Fajar pada suatu senja di danau itu. Itu berarti 29 Agustus ke-empat
pula yang telah aku rayakan bersama Fajar. Tepat pada hari kepulanganku dari
Rumah Sakit, dan hari ini adalah hari jadiku yang ke-24. Aku sangat senang,
bahkan harapan-harapan kehidupan baru bermunculan lagi di depan mataku. Aku membayangkan
hari-hari yang akan lalui bersama mama, papa, Fajar, dan juga sahabat-sahabat
yang sangat aku sayangi. Meskipun kematian itu dekat, tapi setidaknya, Leukimia
yang aku derita selama ini tidak lagi menyakiti tubuhku lebih lama lagi. Tentu saja
aku hanya termasuk sebagian kecil orang yang mampu bertahan dari Leukimia. Aku beruntung
sekali, terutama memiliki keluarga dan juga Fajar yang selalu mengalirkan
energi kehidupan kepadaku.
“Senja, hari ini adalah hari yang yang sangat
membahagiakan dalam hidupku, bisa melihat kamu tersenyum manis dari biasanya. Aku
janji, akan membuat senja-senjamu lebih indah lagi. Tunggu aku di tepi danau
tempat biasa, datang sendiri yah, karena senja ini paling spesial.”
Satu pesan masuk di ponsel-ku yang
bertuliskan nama fajar. Tak terbayangkan betapa bahagianya hatiku saat ini. Dua
Puluh Sembilan Agustus, tepat pada hari jadiku. Dan Fajar pasti telah
mempersiapkan kejutan spesial sebagai hadiah ulang tahunku.
Mentari lebih cerah dari senja-senja
sebelumnya. Seluruh jagad raya seakan ikut merayakan kesembuhanku. Aku tidak
sabar menunggu senja ini. Setelah berdandan seanggun mungkin dengan balutan
busana Ungu kesukaanku, aku minta diantar papa ke Danau yang terletak tidak
terlalu jauh dari rumahku. “Fajar, aku begitu merindukan saat-saat ini.
Dua Puluh menit berlalu, aku masih duduk
dengan sabar menunggu kedatangan Fajar. Danau kenangan itu menatap heran
kepadaku, mungkin karena Fajar yang tidak biasanya membiarkanku menunggu. Sudah
terlalu lama aku duduk terpaku di sini. Langitpun semakin indah dengan Jingganya.
Burung-burung beterbangan di atas kepalaku seolah memberikan pesan yang tidak
terbaca olehku. Semilir angin semakin dingin membungkus kulitku. Dengan sebongkah
harapan yang teramat sangat aku masih menunggu Fajar di sini, di danau tempat
kami menikmati senja yang perlahan berganti malam. Tiba-tiba ponsel-ku berdering.
Tanpa melihat nama penelpon yang tertulis di ponsel, aku segera menjawab
telepon itu.
“Senja, kamu lagi dimana?”
“Aku di tepi danau tante, menunggu
Fajar, “jawabku seadanya.
“Kamu harus ke Rumah Sakit sekarang.” Dengan
suara serak dan tangis tertahan perempuan itu mematikan sambungan teleponnya.
* * *
Fajar, tanpa terasa sudah genap 365 hari
kepergianmu. Aku masih tak percaya dengan kejadian itu. Kamu itu benar-benar
seperti malaikat yang sepenuhnya menginginkan kesembuhanku. Hari ini, adalah
hari yang sangat bersejarah bagiku. Hari dimana kamu mengajarkan arti pertemuan
dan sekaligus perpisahan untukku. Fajar, meskipun kita berada pada dimensi yang
bebeda, tapi tak lantas bisa memudarkan kamu dari hatiku. Kamu adalah kenangan
dalam keabadian yang telah mampu mengajarkanku akan arti kehidupan. Meskipun bagi
mereka kamu telah tiada, tapi bagiku, kamu akan hidup selamanya.
Tepat jam 03.00 mata ini masih terjaga. Bayangan
Fajar masih menari-nari di kepalaku. Semua hari-hari yang kulalui bersamanya
begitu membekas dan tak bisa hilang begitu saja. Sepasang mata ini benar-benar
tidak bisa terpejam, tetap terjaga, hingga fajar menyingsing menjemput pagi.
Padang,
Mei 2013