Kamis, 26 Desember 2013

Embun, Si Penggembala

       Senja beringsut datang. Angin mendesau mencipta irama tersendiri bagi liukan ilalang yang berjejer di sepanjang pematang sawah itu. Matahari tampak menguning sembari besembunyi ke pangkuan malam. Memberi isyarat pada kawanan kelelawar bahwa ini saatnya mencari makan. Seolah berada dalam sebuah kompetisi, mereka seakan berlomba untuk terbang paling tinggi. Puluhan itik pun berderet rapih di sepanjang pematang untuk pulang ke kandang. Perpaduan senja yang sempurna, senja yang menawan. Senja di antara pematang sawah, di sebuah pinggiran desa.
       Desa Tarok, yang terletak di sebuah kabupaten yang tak jauh dari kota Payakumbuh adalah tempat anak lelaki itu dilahirkan. Meski terlahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang kurang beruntung, tak lantas membuatnya patah semangat. Embun namanya, sedikit kurus dan tidak terbilang tinggi untuk bocah seumurannya. Sawo matang kulitnya agak terbungkus oleh bekas-bekas luka dan balutan lunau sawah yang setiap hari digelutinya. Subuh-subuh sekali ia sudah pergi ke sawah yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya. sebuah bangunan yang berdinding anyaman bambu, berlantaikan tanah, dan beratapkan rumbio itulah tempat ia, Apak, dan Amaknya beristirahat setelah seharian menghabiskan waktu di sawah-sawah tetangga yang sedang butuh tenaga mereka.
       Subuh ini seperti biasa Embun sudah bangun untuk memulai aktivitasnya. Ia memang seorang anak yang rajin, tau diri, dan juga tak pernah meninggalkan shalat seperti yang diajarkan Apak semenjak embun masih berumur lima tahun. Pernah suatu ketika Embun lupa untuk shalat Ashar karena terlalu asyik bermain dengan kambing-kambing gembalaannya. Waktu itu sudah jam enam sore. Apak yang baru keluar dari sawah dan masih berbalut lumpur itu menyadari kalau anak lelakinya yang telah diingatkan untuk shalat sedari tadi masih keasyikan berlarian sambil sesekali tergelak melihat ulah kambing-kambing gembalaannya. Apak sangat marah melihat hal itu. Sebab urusan shalat itu bukan main-main, begitulah yang selalu diajarkan Apak kepada Embun. Dengan bergegas Apak mencari lidi daun enau yang terletak tidak jauh dari sawah tersebut dan melecutkan sampai kaki kiri Embun tampak memerah. Embun  menangis kesakitan sambil meminta ampun dan berjanji tidak akan mengulanginya. Semenjak saat itu ia sangat jera dan tidak pernah mau meninggalkan shalat lima waktu.
       Setelah shalat subuh, Embun bergegas ke kandang kambing yang berjarak sekitar sepuluh meter di belakang rumahnya. Seperti berpacu dengan mentari, ia dengan cepat menggiring kambing-kambing itu ke sawah untuk mencari makan. Kambing yang berjumlah sekitar sepuluh ekor itu sebenarnya bukan miliknya. Ia hanya dipercayai oleh Pak Mansur, seorang guru SMP di desa itu. Setelah mengikatkan beberapa utas tali ke pohon cubadak (nangka), dan memastikan kambing-kambing itu telah melahap rumput-rumput hijau ia kembali ke rumahnya untuk mandi dan bersiap-siap untuk ke sekolah. Ketika sore menjelang, sehabis Ashar ia kembali ke sawah tersebut untuk menyabitkan beberapa karung rumput sebagai cadangan untuk makanan kambing-kambingnya. Hal itulah yang setiap hari dilakukannya tanpa bosan, dan jenuh. Supaya tetap bisa bersekolah, supaya nanti bisa kuliah, sebuah cita-cita yang terlalu tinggi, seperti kata teman-temannya sesama anak petani miskin di kampungnya.
*        *          *

       “Apa ang tidak ke sawah, Nak? Bukannya ini sudah kesiangan, sebentar lagi terang, kambing-kambing ang harus makan, dan nanti ang juga harus berangkat sekolah”, kata ibu dengan lembut melihat anak bujang-nya yang masih bermenung di bangku-bangku depan rumahnya dengan kain sarung yang disandangnya di leher.
       “Aden maleh, Mak. Rasanya sudah capek jadi penggembala terus. Kenapa yah Mak kita tidak bisa seperti tetangga yang lain. Si Riko contohnya, Amaknya hanya seorang guru honor TK, Apaknya mondar-mandir saja sepanjang kampung mengurusi bisnis BT (togel) nya dari lapau ke lapau, tapi ia tetap bisa bersekolah tanpa harus menggembala seperti waden. Si Anas, Riska, Tanti pun begitu. Apaknya hanya pembuat tuak, tapi kenapa tetap bisa ke sekolah dengan baju bagus, sepatu keren, dan juga membawa hp Mak?” sedangkan aden setiap hari sudah capek mengurusi kambing-kambing itu tapi tak juga jadi beruntung seperti mereka.”
       Amak yang sedari tadi dengan serius mendengarkan keluhan anak bujangnya itu tersenyum lembut penuh arti. “Sekarang amak mau bertanya, sudah kelas berapa waang sekarang, Nak?”
       “Kelas enam, Mak”, kata embun dengan sopan.
       “Kalau begitu, sebentar lagi waang akan melanjutkan sekolah ke tingkat SMP. Apa waang tetap mau kuliah dan menjadi sarjana seperti uda Zein, anak Pak Mansur?”
       “Iya, Mak, tentu saja.”
       “Untuk bisa meraihnya, tentu tak bisa hanya dengan main-main, Nak.” Sama seperti prestasi-prestasi yang selalu ang raih di sekolah. Kalau ang main-main dan tidak sungguh-sungguh belajar, apa bisa selalu menjadi bintang kelas?”
       Perempuan itu menjelaskan dengan pancaran wajah yang penuh kasih sayang kepada anaknya. Begitulah amak, ia perempuan tersabar yang selalu mengajarkan tentang kelembutan seorang ibu, mengajarkan arti dari usaha dan doa, menurutnya, hidup ini bukan tentang keberuntungan, akan tetapi tentang seberapa besar kerja keras. Hal itulah yang selalu diyakini Amak sejak dulu, sehingga ia tak pernah menyerah, ia tak pernah putus asa dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Sudah beberapa pagi berlalu setelah Embun banyak merenung dan kurang bersemangat mengurusi kambing-kambingnya. Tapi Amak, bak embun penyejuk di kala kehausan, bagai kunang-kunang di pekatnya malam, dengan limpahan cinta yang tiada tara selalu berhasil memacu semangat Embun untuk tetap semangat meraih cita. Begitu pun dengan Apak, beliau sosok dingin yang tetap idola di mata anak-anaknya. Sorot tajam matanya, satu kalimat meluncur dari mulutnya, semua gerak-geriknya menjadi bermakna di mata Embun, kedua adiknya, dan tentu juga di mata Amak yang selalu menyayangi dan menghormati suaminya. Begitulah keluarga mereka, sebuah keluarga yang serba kekurangan dari segi materi akan tetapi selalu mengimbangi kekurangan-kekurangan itu dengan cinta.
*        *          *
       Senja menjelang pasti, panas terik sehari ini membuat letih para petani yang berjerih demi mendapatkan sesuap nasi untuk anak-anak mereka, untuk melanjutkan hidup. Embun yang tampak kelelahan kerena memang setiap hari berjalan kaki dengan sepatu yang sudah bolong di tumitnya itu tertidur pulas di dangau-dangau sawah tempat ia biasa mengikatkan kambing-kambingnya. Tiupan angin sepoi yang membelai lembut tubuhnya terasa hangat serasa pelukan Amak yang dapat mengusir lelahnya.  Akan tetapi, tidur nyenyak itu dibangunkan oleh suara kambing yang membebek tak karuan. Embun tersentak dan langsung menuju ke dekat pohon cubadak tempat ia mengikatkan kambing-kambing itu. Ia sangat kaget ketika sampai di sana, delapan kambingnya raib entah kemana. Hanya tinggal tali-tali pengikat dan dua ekor kambing yang tengah membebek dan berusaha melepaskan ikatannya. Embun terlihat sangat panik, ia berlari-lari ke sepanjang pematang, sampai ke parak jagung di sebelah atas sawah tersebut, tapi tetap tak membuahkan hasil. Ia sangat cemas, dengan apa ia akan membayar kerugian kepada Pak Mansur karena kehilangan delapan ekor kambing-kambing itu. Jangankan untuk mengganti rugi seharga kambing-kambing itu, uang ujian semester satu yang akan dilaksanakan lusa saja masih belum ada. Apak menjanjikan akan mengakalinya kepada pak Mansur, tentu saja atas nama hutang dan akan dipotong dari gaji hasil gembalaan Embun yang diterima nanti setelah pembagian hasil penjualan kambing-kambing tersebut.
       “Tadi aden Cuma tertidur sebentar, Mak. Tapi setelah bangun kambing-kambing itu sudah tak ada.”
       “lalu kemana kambing-kambing itu, Nak? Dengan apa kita akan ganti kepada pak Mansur delapan ekor kambing tersebut”, kata amak yang belum pernah terlihat sepanik ini.
       “Sudah, tak ada gunanya menyesali di sini. Lebih baik sekarang kita berpencar mencari kambing-kambing yang hilang itu”, kata bapak menenangkan Embun dan amak yang tampak sangat panik itu.
       Mereka pun berpencar untuk mencari kambing-kambing yang hilang. Amak mencari ke arah utara sampai ke desa sebelah, Embun mencari ke arah belakang rumahnya, dan Apak kembali ke sawah tempat Embun menggembalai kambing tersebut. Matahari benar-benar telah kembali ke peraduan. Hari sudah gelap, Apak kembali ke rumah dengan tangan kosong, begitu juga dengan Amak dan Embun, dua kambing sisa dari kambing yang hilang yang diikatkan di pohon depan rumah tampak membebek panjang dan terlihat tak sabar untuk kembali ke kandang. Akhirnya apak menagajak mereka untuk shalat magrib berjamaaah dulu. Nanti mereka akali bagaimana cara menjelaskan kepada pak Mansur.
       “Jangan lupa berdoa kepada yang di atas, Nak. Hanya Dia yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Mintalah petunjuk dan jalan keluar atas masalah dan kesulitan yang kita alami ini”, kata amak yang tampak sedikit lebih tenang setelah shalat magrib tadi.
       Embun menggiring dua ekor kambing yang masih ada tadi ke kandang dengan membawa sebuah senter untuk pencahayaan karena hari sudah sangat gelap. Tapi beberapa meter dari arah kandang cahaya senternya tertuju kepada beberapa binatang yang tampak kaget karena kedatangannya. Ia baru menyadari bahwa ternyata kambing-kambingnya yang hilang telah ada di sekitar kandang tersebut. Embun bersorak gembira dan segera memberitahukan kepada Apak danAmak.
       Begitulah sesosok Embun kecil yang selalu diajarkan Apak dan Amak untuk selalu bekerja keras jika ingin memperoleh sesuatu. Ia banyak belajar dari kesusahan hidup dan dari kesulitan-kesulitan dan ujian hidup yang berat untuk anak seusianya. Akan tetapi, hal itulah yang membuatnya makin tegar dalam setiap masalah-masalah yang dihadapi. Dari sinilah cerita ini bermula, Embun, seorang penggembala kambing yang berjuang keras demi melanjutkan hidup dan demi sebuah gelar sarjana.

3 komentar:

  1. waaahhhh cerita nya bagus zah .. buat lagi ya zah :) (y)

    BalasHapus
  2. kalau cerpen ini di perluas endingnya sampe si embun jadi orang, tentu akan terasa berhasilnya sebuah impian. tapi ini saja sudah lebih dari cukup. good job!

    BalasHapus