Rabu, 28 Oktober 2015

Padang Ilalang Oleh: Restia Rahmi

Padang Ilalang
Oleh: Restia Rahmi
Barangkali karena panas yang terlalu menyengat, hingga terpantul  dari bentangan aspal jalanan mana saja di kota ini. Barangkali karena pepohonan hijau yang semakin terancam punah, hingga gerah berkepanjangan tak kuasa lagi kuhindari. Aku? Mungkin tak hanya aku, tapi juga seluruh penghuni kota ini. Panas dan gerah, tentu hal itulah yang menjadi alasan utama bagiku untuk memilih bertapa di ruangan kecil, kamar kostku. Maret yang begitu gersang, membuat pikiranku menerawang dan hinggap pada kenangan panjang masa kecilku. Dulu, di hamparan tanah bertumbuhkan ilalang itu aku acap kali bermain. Berkejar-kejaran dengan teman-teman masa kecilku. Berlarian di sepanjang padang ilalang, hingga senja menjelang. Tapi senja pun tak jua membuat kami ingin pulang. Aku lebih suka memilih senja di padang ilalang itu. Entah mengapa, kurasa indah saja. Aku bisa merasakan semilir angin yang berhembus dengan lembutnya. Aku lebih suka duduk dan memandang jauh ke ujung hamparan ilalang itu, saat senja menjelang. Saat letih menyapa setelah hampir setengah hari berlarian kesana kemari. Aku lebih memilih diam, saat teman-temanku yang lain masih bercerita dengan semangatnya. Tentang pertandingan bola antar kampung yang dua minggu lagi akan diadakan, bertepatan dengan liburan semester. Tentang kejadian-kejadian lucu di sekolah tadi, tentang teman-teman MDA yang usil, tentang apa saja. Tapi bagiku, senja itu lebih menarik untuk dinikmati, lebih indah untuk dipandangi saja, tanpa komentar apa-apa.
Dua puluh menit terdiam, sepertinya masih belum cukup untuk melamunkan pikiran ini pada masa-masa indah dulu. Sepertinya aku tak hanya ingin sekedar melamunkannya, tapi juga mengulangnya. Tapi tentu saja ketidakmungkinannya akan lebih kuat dari kata mungkin yang sebetulnya lebih kuharapkan. Kesibukan kampus akhir-akhir ini yang begitu menjenuhkan membuat aku seringkali malas untuk beraktivitas. Ditambah lagi dengan masalah masalah yang menurut sebagian orang mungkin ‘tidak penting’. Masalah rumit, misterius, dan juga sulit terpecahkan. Seperti teka-teki saja. Bahkan detektif ternama dengan alibi yang kuat pun akan mudah untuk menyerah. Karena ini sangat sulit untuk teranalisis logika. Apalagi kalau bukan masalah hati. Ah, aku benci saja membahasnya. Andai saja perasaan itu seperti komputer yang memiliki tombol ‘delete’ yang kapan saja bisa aku tekan. Huh, tentu sudah dari dulu aku lakukan itu. Meskipun bias cahaya yang dia pantulkan lebih indah dari ‘me-ji-ku-hi-ni-bi-u’ yang seringkali aku tatap dari padang ilalangku dulu, tapi tetap saja kadar indah cahaya itu tidak pas hingga berdampak buruk untukku. Entah itu merusak mataku, iya seperti itulah kira-kira, tapi lebih anehnya malah merusak hatiku. Dia tak lebih dari sekedar bayangan semu yang hanya bisa menebar pesona di setiap pasang mata yang ada di dekatnya. Tanpa menjanjikan apa-apa. Semu, akan selamanya menjadi semu. Hingga kesemuan itulah yang akan menjadikannya selamanya semu. Tak akan pernah menjadi nyata.
Dulu, di padang ilalang itu aku sangat suka tertawa. Tertawa selepas-lepasnya seperti hidup ini adalah surga. Yang aku tau hanyalah berlari-larian bersama mereka sesuka hatiku. Tak ada beban apa-apa, tak ada pikiran apa-apa, bercerita apa saja dengan wajah polos dan lugu sembari menunggu senja. Indah sekali, bahkan membuat aku lupa bahwa seiring perputaran waktu itu jua yang mengantarkan aku hingga tumbuh dewasa. Tapi kini, di saat seperlima abad usiaku usai sudah kulewati, dengan hari-hari panjang yang sebenarnya singkat sekali. Diiringi cerita-cerita suka berbaurkan duka, aku jalani tanpa henti. Mengiringi putaran waktu menuju senja, dan menanti pagi. Menapaki siklus kehidupan yang berputar pada porosnya. Aku seperti tersentak dari mimpi indah yang cukup panjang. Banyak sekali hal-hal baru yang sepertinya tak kukenali, hingga kadang membuatku gamang dan hanya tegak terpaku seperti membeku. Sepertinya aku masih butuh waktu untuk menyusun strategi. Tapi tetap, semua itu begitu menjenuhkan.
Di padang ilalang itu aku suka sekali menatap jauh ke ujung sana, menikmati semilir angin yang membelai manja rambutku. Memandangi kawanan burung pipit yang menari-nari di pucuk pohon itu. Padang ilalang itu, seperti surga untuk aku dan teman-temanku. Berbeda seratus 180 derajat dengan saat ini. Saat bias semunya seakan mampu membiusku. Tak sekedar itu, bahkan telah mampu mengacaukanku. Masih kuingat dengan jelas, saat teman dekatku selalu bercerita tentang dia dan sebongkah perasaannya kepadaku. Dan aku, dengan segenap kepolosan dan keluguanku dengan mudahnya berbunga-berbunga. Merah jambu warnanya hatiku, saat dia dengan tersenyum lembut selalu menyapaku. Merah meronanya wajahku, saat dia dengan bangganya menyebut namaku, bahkan di depan teman-temanku. Begitu bodohnya aku. Dan tak tertahannya tangis ini, saat aku tau kalau ternyata aku hanya sekedar tempat persinggahan, saat lelah dengan apa yang ditujunya, saat jenuh dengan sesuatu yang ingin diraihnya. Dan kini, ketika lelah dan jenuh itu telah mampu aku hilangkan, dengan mudahnya ia pergi, dan akan mencari tempat persinggahan yang baru saat lelah dan jenuh kembali menghampiri.
Di padang ilalang ini, aku hampir menghabiskan masa kecilku. Di sana juga aku dan teman-teman selalu bercerita, dari pulang sekolah, hingga waktu senja tiba. Aku juga suka menatap mawar saat bersemi dengan indahnya. Meskipun mawar itu berduri, tapi tetap saja menarik, karena akan mempunyai kepuasan tersendiri bagi orang yang berhasil memetik mawar yang dahannya dipenuhi duri yang tajam itu. Tentu saja setiap orang yang ingin memetik mawar tersebut telah siap dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya nanti. Entah itu terluka oleh durinya, ataupun sekedar gores saja. Itu juga yang dulu sudah kuputuskan, membiarkan perasaan itu menari-nari indah dalam anganku. Mengizinkannya hingga menguasai separuh warasku. Hingga nelangsa yang kurasa saat semua hanya semu belaka. Tapi itulah konsekuensi yang harus kuterima.
Padang ilalang, yang selalu mampu mengusir lelahku dan teman-temanku dulu, yang selalu setia mendengar cerita-cerita kami, dan yang selalu bersedia menjadi tempat persinggahan kami, kurang lebih ternyata sama seperti aku. Tapi pernahkah dia membenciku? Saat kini kutemukan tempat-tempat baru di sini. Saat tak ada waktu lagi bagiku dan teman-temanku untuk sekedar menjenguknya kala aku pulang ke kampung halamanku. Saat aku sibuk dengan apa yang ingin kutuju, saat aku lengah dengan sesuatu yang hendak kuraih. Tidak, padang ialalangku tidak pernah membenciku. Bahkan dia akan tetap ada saat nanti (bahkan entah kapan) aku menyempatkan waktu lagi untuk menatap senja di sana. Dia akan tetap ada. Setidaknya aku bisa belajar dari padang ilalangku untuk tidak saling membenci, meski pun hanya sekedar tempat persinggahan, tapi tetap saja dia pernah menjejaki tempat itu. Terima kasih padang ilalangku, yang telah membuat aku sadar tentang banyak hal, bahwa kehidupan itu tentang bagaimana memberi dan juga menerima.

Untuk padang ilalangku, terima kasih untuk senja indahnya, terima kasih untuk semilir anginnya, terima kasih untuk kenangannya. Dan untuk kamu, terima kasih untuk bunga-bunga semu yang pernah kau tabur di hati ini, terima kasih untuk goresan lukanya, yang telah mampu mengajarkanku untuk lebih ikhlas dalam menerima. Kamu, dan padang ilalangku. Terima kasih.

Kamis, 08 Oktober 2015

Pangeranku
Oleh: Restia Rahmi
“Rena, bang Angga tadi ke sini, dia menanyakan kamu. Tapi kamunya belum pulang dari kampus,”ibu menyambutku dengan sebuah kabar kedatangannya.
Aku sampai tertegun sebentar di depan pintu mendengar berita dari ibu. Bang Angga, pikirku. Tumben sekali dia berkunjung ke Payakumbuh.
“Besok siang dia mau ke sini lagi,” tambah ibu.
“Oo gitu ya, Bu. Iya bu”. Sahutku lagi sambil menganggukkan kepala. Meski sebenarnya aku antara mendengar dan tak mendengar perkataan ibu barusan.
Aku tersentak dari diamku, dan langsung masuk kamar. Sementara ibu masih asyik dengan kue talam  pesanan bu Siska guru TK. Aku kembali mengingat kata-kata ibu. Besok pagi bang Angga ke sini lagi, aku harus gimana? Aku duduk di pinggir ranjang tanpa terlebih dahulu membuka jilbab biruku. Ah, seperti tersentak rasanya mendengar nama itu lagi. Pikiranku melayang entah kemana, bayangan 12 tahun silam menari-nari lagi di benakku. Saat pertama kali Rena kecil berwajah polos itu mengenal yang konon disebut orang-orang dengan cinta. Jangan kaget, aku tidak sedang main-main. Dan cinta pertamaku adalah bang Angga.
Sewaktu itu, ayah masih aktif melakoni profesinya sebagai guru sekolah dasar di kampungku. Sementara ibu sangat sibuk dengan toko kelontong keluarga kami yang saat itu sedang laris-larisnya. Kak Eca pulang sebulan sekali dari asrama. Sementara aku, bisa dikatakan tak punya teman di rumah. Lalu siapa teman ceritaku tentang apa saja yang terjadi di sekolah hari ini? Dialah bang Angga. Siapa yang mengantarku mengaji ke MDA saat pelanggan ibu sedang ramai-ramainya? Bang Angga. Siapa yang bersedia mengajariku bermain sepeda saat aku dihadiahi ayah sepeda baru karena mendapat juara 1 di kelas? Siapa lagi, kalau bukan Bang Angga. Dan siapa juga yang membantuku membuat tugas menggambar yang memang dari dulu tak pernah kusukai?  Dia yang tau saat aku kesepian, dia yang paling mau mendengarkan  cerita-cerita yang menurut orang-orang hanya terbilang konyol dan tak masuk akal. Dia, dia pangeranku, bang Angga.
Sepulang mengaji dari MDA, bang Angga selalu memboncengku dengan sepedanya. Dia selalu menungguku dengan membunyikan kring-kring lonceng sepeda itu berkali-kali.
“Wah, pacarmu sudah jemput Ren.” Begitu ledekkan teman-temanku hampir setiap kring-kring itu mereka dengar di teras depan MDA. Aku tak peduli dan hanya tersenyum lebar. Dengan mata berbinar aku langsung berlari ke arahnya dan langsung berbonceng memegang erat pinggangnya.
“Jangan megang pinggang dong Dek, geli tau. Ntar kamu mau kita jatuh lagi?” Kalimat yang selalu diucapkan saat aku tak sengaja dan terkadang sengaja memegang erat pinggangnya sewaktu berbonceng.
“Iya maaf, Bang aku lupa,” kataku. Walau tak jarang  malah aku sengaja mencolek pinggangnya sambil tertawa terbahak-bahak melihatnya kegelian, sementara sepeda yang dikendarainya sudah oleng dan kemudian Bang Angga sengaja berhenti untuk mencubit pipiku sambil berteriak, “iseng banget sih anak nakalllll”.
“Hahahaha....aku pun tertawa dengan riangnya.”
“Ren, buka pintunya, pinjam kunci motor kakak mau ke rumah Bu Siska ngantarin Ibu.” Tiba-tiba pintu kamarku digedor-gedor.
“Iya bentar, Kak.”
“Ngapain kamu dari tadi, kakak teriak-teriak gak kedengeran? Tidur yaa? Tidur mulu sih, Dek kerjaannya?“
“Nggak kok kak. Kak Eca sih manggilnya dari jauh gitu ya gak kedengeran lah, Kak” jawabku sambil manyun lima sentimeter.
“Yah adek kakak yang satu ini gitu aja udah manyun,”tambah kak Eca lagi menggodaku.
Rumah telah sepi, sesepi hatiku beberapa tahun lalu. Saat itu, saat-saat yang begitu tak ku inginkan. Semenjak bang Angga telah melepas seragam putih abu-abunya. Walaupun tetap melanjutkan kuliah di salah satu universitas di kota ini, tapi tetap ada yang berbeda. Beberapa minggu berkuliah, pertama kali aku lihat dia membawa seorang teman perempuannya bertamu ke rumahnya. Aku yang saat itu mengintip dari balik jendela kamarku hanya bisa bermanyun-manyun dan menarik-narik kesal kain gorden yang menutup sebagian jendela itu.
“Siapa sih perempuan itu?” Mengapa dia berani mengambil alih posisiku. Biasanya kan aku yang dibonceng di sana, meskipun biasanya pake sepeda.” Aku menggerutu sendiri dalam hati.
Semenjak hari itu bang Angga hanya sibuk dengan dunia kampusnya. Tak ada lagi canda tawa seperti dulu, tak ada lagi kring-kring sepeda yang sering kudengar dulu, tak pernah lagi aku dibonceng naik sepedanya.
“Angga katanya pulang malam, Ren ada acara lagi di kampusnya.” Begitu yang akhir-akhir ini acapkali kudengar dari mama bang Angga saat aku ke rumahnya.
Dengan wajah muram, aku hanya menatap sepeda yang dulu selalu megantar jemputku ke MDA. Sepeda yang memang sudah lama tak dipakai Bang Angga, semenjak kuliah dan dibelikan sepeda motor baru oleh mamanya.  Semuanya memang telah berbeda, bang Angga begitu sibuk dengan dunia barunya. Walaupun terkadang pulang agak cepat dari biasanya, itupun sama kak Mona,  yang baru-baru ini kutahu namanya sewaktu mamanya bang Angga cerita sama ibuku.
Setelah lama tak kulihat bang Angga, suatu ketika aku tertegun saat melihat selembar undangan berwarna merah jambu di meja tamu. Hari itu tepat di hari penentuan kelulusan SMA. Kalau biasanya aku selalu juara kelas, lagi-lagi aku membuat bangga ayah dan ibu karena mendapat nilai UN tertinggi di sekolah. Meskipun begitu, hari yang seharusnya membuat aku tersenyum bahagia, justeru dirusak oleh selembar kertas merah jambu tersebut. Tertulis di sampul depannya, Angga & Mona. Aku tak tau apa yang kurasa. Mataku seperti menyimpan genangan yang sangat ingin tertumpah. Hingga pada akhirnya tak mampu lagi kubendung. Iya, aku menangis. Rena kecil yang kini sudah menginjak usia remaja telah kehilangan seorang pangeran masa kecilnya.
Besok, bang Angga akan datang, dan itu artinya aku akan bertemu lagi dengan cinta pertamaku. Entah seperti apa dia sekarang. Telah lama kubayang-bayangkan wajahnya karena tak sabar menunggu esok. Tapi tetap hanya langit-langit kamar yang  terlihat di mataku. Sementara pikiranku semakin tak tentu. Hanya satu yang kini kutahu, semenjak saat itu, aku tak pernah benar-benar bisa melupakan laki-laki itu.
*          *          *
Pagi itu aku duduk di depan kaca di kamarku. Aku tatap lekat-lekat bayanganku di cermin. Aku tak kalah cantik, pikirku. Kembali aku tambahkan bedak dan sedikit lipstik berwarna natural di bibirku. Tiba-tiba jantungku berdetak makin kencang saat terdengar bunyi mesin mobil di depan rumah. Diikuti suara beberapa orang yang masuk menuju ruang tamu. Setelah itu terdengar pula suara yang begitu akrab di telingaku. Suara itu tak berubah, masih suara yang selalu membuatku tertawa dulu. Aku segera menuju ruang makan dan mengintip di balik lemari pembatas antara ruang makan dan ruang tamu. Aku lihat seseorang berdiri di situ. Sosok laki-laki yang bahkan sampai saat ini membuatku rindu. Seseorang yang sampai saat ini masih tak pernah hilang dari ingatanku. Bang Angga.
“Rena mana  Tante?” kudengar lagi suaranya, kali ini menyebut namaku.
“Ren..Rena.....”kudengar ibu berteriak memanggil-manggil namaku.
“Mana ya si Rena? Langsung aja cari ke belakang, Ngga.” Sahut ibu sambil melanjutkan bercerita dengan Kak Mona dan anak-anaknya.
“Loh, kamu di sini? Apa kabar, sayang? Udah besar ya kamu sekarang, makin cantik lagi.” Tetiba diusapnya kepalaku. Aku hanya balas dengan tersenyum simpul. Dan menatapnya dengan penuh arti. Aku hanya berdiri kaku di depan lelaki yang sebenarnya sangat aku rindukan itu. Ingin sekali sebenarnya aku memeluknya seperti dahulu saat berbonceng sepeda dengannya. Tapi aku tidak bisa apa-apa, meski dia terlihat masih setampan dulu, hanya saja sedikit lebih gemuk, tapi bagiku dia bukan bang Anggga ku lagi, bukan pangeran masa kecilku. Dahulu dan sekarang sudah jauh berbeda. Aku terlihat sangat gugup berdiri di situ, dia juga begitu, tak terlalu mampu mencairkan suasana yang kian beku. Saat ini aku tak terobsesi lagi untuk memilikinya. Jelas saja aku juga tak ingin mengganggu rumah tangga orang. Dan juga saat ini aku sudah punya Riky yang menurut pengamatanku tak jauh berbeda dengan Bang Angga. Dia sangat menyayangiku dan menunjukkan sikap serius untuk menunggu wisudaku dan kemudian mempersuntingku.

Laki-laki yang kini tepat berada di depanku memang hanya episode masa laluku yang mungkin tak terlupa. Tak kupungkiri, ia punya ruang tersendiri di hatiku. Sebagai sahabat, sebagai kakak laki-laki, dan juga sebagai cinta pertamaku, cinta monyetku. Tapi saat ini, setidaknya, aku hanya ingin dia tahu tentang perasaanku dan aku tahu juga perasaannya. Aku coba mencari-cari lewat tingkah dinginnya setelah satu dua kalimatnya yang hanya kujawab dengan senyum simpul tadi. Mungkin aku dan dia tak berani mengeja apa-apa, tapi hanya sama-sama membaca, lewat tatap mata.
Pangeranku
Oleh: Restia Rahmi
“Rena, bang Angga tadi ke sini, dia menanyakan kamu. Tapi kamunya belum pulang dari kampus,”ibu menyambutku dengan sebuah kabar kedatangannya.
Aku sampai tertegun sebentar di depan pintu mendengar berita dari ibu. Bang Angga, pikirku. Tumben sekali dia berkunjung ke Payakumbuh.
“Besok siang dia mau ke sini lagi,” tambah ibu.
“Oo gitu ya, Bu. Iya bu”. Sahutku lagi sambil menganggukkan kepala. Meski sebenarnya aku antara mendengar dan tak mendengar perkataan ibu barusan.
Aku tersentak dari diamku, dan langsung masuk kamar. Sementara ibu masih asyik dengan kue talam  pesanan bu Siska guru TK. Aku kembali mengingat kata-kata ibu. Besok pagi bang Angga ke sini lagi, aku harus gimana? Aku duduk di pinggir ranjang tanpa terlebih dahulu membuka jilbab biruku. Ah, seperti tersentak rasanya mendengar nama itu lagi. Pikiranku melayang entah kemana, bayangan 12 tahun silam menari-nari lagi di benakku. Saat pertama kali Rena kecil berwajah polos itu mengenal yang konon disebut orang-orang dengan cinta. Jangan kaget, aku tidak sedang main-main. Dan cinta pertamaku adalah bang Angga.
Sewaktu itu, ayah masih aktif melakoni profesinya sebagai guru sekolah dasar di kampungku. Sementara ibu sangat sibuk dengan toko kelontong keluarga kami yang saat itu sedang laris-larisnya. Kak Eca pulang sebulan sekali dari asrama. Sementara aku, bisa dikatakan tak punya teman di rumah. Lalu siapa teman ceritaku tentang apa saja yang terjadi di sekolah hari ini? Dialah bang Angga. Siapa yang mengantarku mengaji ke MDA saat pelanggan ibu sedang ramai-ramainya? Bang Angga. Siapa yang bersedia mengajariku bermain sepeda saat aku dihadiahi ayah sepeda baru karena mendapat juara 1 di kelas? Siapa lagi, kalau bukan Bang Angga. Dan siapa juga yang membantuku membuat tugas menggambar yang memang dari dulu tak pernah kusukai?  Dia yang tau saat aku kesepian, dia yang paling mau mendengarkan  cerita-cerita yang menurut orang-orang hanya terbilang konyol dan tak masuk akal. Dia, dia pangeranku, bang Angga.
Sepulang mengaji dari MDA, bang Angga selalu memboncengku dengan sepedanya. Dia selalu menungguku dengan membunyikan kring-kring lonceng sepeda itu berkali-kali.
“Wah, pacarmu sudah jemput Ren.” Begitu ledekkan teman-temanku hampir setiap kring-kring itu mereka dengar di teras depan MDA. Aku tak peduli dan hanya tersenyum lebar. Dengan mata berbinar aku langsung berlari ke arahnya dan langsung berbonceng memegang erat pinggangnya.
“Jangan megang pinggang dong Dek, geli tau. Ntar kamu mau kita jatuh lagi?” Kalimat yang selalu diucapkan saat aku tak sengaja dan terkadang sengaja memegang erat pinggangnya sewaktu berbonceng.
“Iya maaf, Bang aku lupa,” kataku. Walau tak jarang  malah aku sengaja mencolek pinggangnya sambil tertawa terbahak-bahak melihatnya kegelian, sementara sepeda yang dikendarainya sudah oleng dan kemudian Bang Angga sengaja berhenti untuk mencubit pipiku sambil berteriak, “iseng banget sih anak nakalllll”.
“Hahahaha....aku pun tertawa dengan riangnya.”
“Ren, buka pintunya, pinjam kunci motor kakak mau ke rumah Bu Siska ngantarin Ibu.” Tiba-tiba pintu kamarku digedor-gedor.
“Iya bentar, Kak.”
“Ngapain kamu dari tadi, kakak teriak-teriak gak kedengeran? Tidur yaa? Tidur mulu sih, Dek kerjaannya?“
“Nggak kok kak. Kak Eca sih manggilnya dari jauh gitu ya gak kedengeran lah, Kak” jawabku sambil manyun lima sentimeter.
“Yah adek kakak yang satu ini gitu aja udah manyun,”tambah kak Eca lagi menggodaku.
Rumah telah sepi, sesepi hatiku beberapa tahun lalu. Saat itu, saat-saat yang begitu tak ku inginkan. Semenjak bang Angga telah melepas seragam putih abu-abunya. Walaupun tetap melanjutkan kuliah di salah satu universitas di kota ini, tapi tetap ada yang berbeda. Beberapa minggu berkuliah, pertama kali aku lihat dia membawa seorang teman perempuannya bertamu ke rumahnya. Aku yang saat itu mengintip dari balik jendela kamarku hanya bisa bermanyun-manyun dan menarik-narik kesal kain gorden yang menutup sebagian jendela itu.
“Siapa sih perempuan itu?” Mengapa dia berani mengambil alih posisiku. Biasanya kan aku yang dibonceng di sana, meskipun biasanya pake sepeda.” Aku menggerutu sendiri dalam hati.
Semenjak hari itu bang Angga hanya sibuk dengan dunia kampusnya. Tak ada lagi canda tawa seperti dulu, tak ada lagi kring-kring sepeda yang sering kudengar dulu, tak pernah lagi aku dibonceng naik sepedanya.
“Angga katanya pulang malam, Ren ada acara lagi di kampusnya.” Begitu yang akhir-akhir ini acapkali kudengar dari mama bang Angga saat aku ke rumahnya.
Dengan wajah muram, aku hanya menatap sepeda yang dulu selalu megantar jemputku ke MDA. Sepeda yang memang sudah lama tak dipakai Bang Angga, semenjak kuliah dan dibelikan sepeda motor baru oleh mamanya.  Semuanya memang telah berbeda, bang Angga begitu sibuk dengan dunia barunya. Walaupun terkadang pulang agak cepat dari biasanya, itupun sama kak Mona,  yang baru-baru ini kutahu namanya sewaktu mamanya bang Angga cerita sama ibuku.
Setelah lama tak kulihat bang Angga, suatu ketika aku tertegun saat melihat selembar undangan berwarna merah jambu di meja tamu. Hari itu tepat di hari penentuan kelulusan SMA. Kalau biasanya aku selalu juara kelas, lagi-lagi aku membuat bangga ayah dan ibu karena mendapat nilai UN tertinggi di sekolah. Meskipun begitu, hari yang seharusnya membuat aku tersenyum bahagia, justeru dirusak oleh selembar kertas merah jambu tersebut. Tertulis di sampul depannya, Angga & Mona. Aku tak tau apa yang kurasa. Mataku seperti menyimpan genangan yang sangat ingin tertumpah. Hingga pada akhirnya tak mampu lagi kubendung. Iya, aku menangis. Rena kecil yang kini sudah menginjak usia remaja telah kehilangan seorang pangeran masa kecilnya.
Besok, bang Angga akan datang, dan itu artinya aku akan bertemu lagi dengan cinta pertamaku. Entah seperti apa dia sekarang. Telah lama kubayang-bayangkan wajahnya karena tak sabar menunggu esok. Tapi tetap hanya langit-langit kamar yang  terlihat di mataku. Sementara pikiranku semakin tak tentu. Hanya satu yang kini kutahu, semenjak saat itu, aku tak pernah benar-benar bisa melupakan laki-laki itu.
*          *          *
Pagi itu aku duduk di depan kaca di kamarku. Aku tatap lekat-lekat bayanganku di cermin. Aku tak kalah cantik, pikirku. Kembali aku tambahkan bedak dan sedikit lipstik berwarna natural di bibirku. Tiba-tiba jantungku berdetak makin kencang saat terdengar bunyi mesin mobil di depan rumah. Diikuti suara beberapa orang yang masuk menuju ruang tamu. Setelah itu terdengar pula suara yang begitu akrab di telingaku. Suara itu tak berubah, masih suara yang selalu membuatku tertawa dulu. Aku segera menuju ruang makan dan mengintip di balik lemari pembatas antara ruang makan dan ruang tamu. Aku lihat seseorang berdiri di situ. Sosok laki-laki yang bahkan sampai saat ini membuatku rindu. Seseorang yang sampai saat ini masih tak pernah hilang dari ingatanku. Bang Angga.
“Rena mana  Tante?” kudengar lagi suaranya, kali ini menyebut namaku.
“Ren..Rena.....”kudengar ibu berteriak memanggil-manggil namaku.
“Mana ya si Rena? Langsung aja cari ke belakang, Ngga.” Sahut ibu sambil melanjutkan bercerita dengan Kak Mona dan anak-anaknya.
“Loh, kamu di sini? Apa kabar, sayang? Udah besar ya kamu sekarang, makin cantik lagi.” Tetiba diusapnya kepalaku. Aku hanya balas dengan tersenyum simpul. Dan menatapnya dengan penuh arti. Aku hanya berdiri kaku di depan lelaki yang sebenarnya sangat aku rindukan itu. Ingin sekali sebenarnya aku memeluknya seperti dahulu saat berbonceng sepeda dengannya. Tapi aku tidak bisa apa-apa, meski dia terlihat masih setampan dulu, hanya saja sedikit lebih gemuk, tapi bagiku dia bukan bang Anggga ku lagi, bukan pangeran masa kecilku. Dahulu dan sekarang sudah jauh berbeda. Aku terlihat sangat gugup berdiri di situ, dia juga begitu, tak terlalu mampu mencairkan suasana yang kian beku. Saat ini aku tak terobsesi lagi untuk memilikinya. Jelas saja aku juga tak ingin mengganggu rumah tangga orang. Dan juga saat ini aku sudah punya Riky yang menurut pengamatanku tak jauh berbeda dengan Bang Angga. Dia sangat menyayangiku dan menunjukkan sikap serius untuk menunggu wisudaku dan kemudian mempersuntingku.

Laki-laki yang kini tepat berada di depanku memang hanya episode masa laluku yang mungkin tak terlupa. Tak kupungkiri, ia punya ruang tersendiri di hatiku. Sebagai sahabat, sebagai kakak laki-laki, dan juga sebagai cinta pertamaku, cinta monyetku. Tapi saat ini, setidaknya, aku hanya ingin dia tahu tentang perasaanku dan aku tahu juga perasaannya. Aku coba mencari-cari lewat tingkah dinginnya setelah satu dua kalimatnya yang hanya kujawab dengan senyum simpul tadi. Mungkin aku dan dia tak berani mengeja apa-apa, tapi hanya sama-sama membaca, lewat tatap mata.