Pangeranku
Oleh: Restia Rahmi
“Rena,
bang Angga tadi ke sini, dia menanyakan kamu. Tapi kamunya belum pulang dari
kampus,”ibu menyambutku dengan sebuah kabar kedatangannya.
Aku
sampai tertegun sebentar di depan pintu mendengar berita dari ibu. Bang Angga, pikirku.
Tumben sekali dia berkunjung ke Payakumbuh.
“Besok
siang dia mau ke sini lagi,” tambah ibu.
“Oo
gitu ya, Bu. Iya bu”. Sahutku lagi sambil menganggukkan kepala. Meski sebenarnya
aku antara mendengar dan tak mendengar perkataan ibu barusan.
Aku
tersentak dari diamku, dan langsung masuk kamar. Sementara ibu masih asyik
dengan kue talam pesanan bu Siska guru
TK. Aku kembali mengingat kata-kata ibu. Besok pagi bang Angga ke sini lagi,
aku harus gimana? Aku duduk di pinggir ranjang tanpa terlebih dahulu membuka
jilbab biruku. Ah, seperti tersentak rasanya mendengar nama itu lagi. Pikiranku
melayang entah kemana, bayangan 12 tahun silam menari-nari lagi di benakku.
Saat pertama kali Rena kecil berwajah polos itu mengenal yang konon disebut
orang-orang dengan cinta. Jangan kaget, aku tidak sedang main-main. Dan cinta
pertamaku adalah bang Angga.
Sewaktu
itu, ayah masih aktif melakoni profesinya sebagai guru sekolah dasar di
kampungku. Sementara ibu sangat sibuk dengan toko kelontong keluarga kami yang
saat itu sedang laris-larisnya. Kak Eca pulang sebulan sekali dari asrama.
Sementara aku, bisa dikatakan tak punya teman di rumah. Lalu siapa teman
ceritaku tentang apa saja yang terjadi di sekolah hari ini? Dialah bang Angga.
Siapa yang mengantarku mengaji ke MDA saat pelanggan ibu sedang ramai-ramainya?
Bang Angga. Siapa yang bersedia mengajariku bermain sepeda saat aku dihadiahi
ayah sepeda baru karena mendapat juara 1 di kelas? Siapa lagi, kalau bukan Bang
Angga. Dan siapa juga yang membantuku membuat tugas menggambar yang memang dari
dulu tak pernah kusukai? Dia yang tau
saat aku kesepian, dia yang paling mau mendengarkan cerita-cerita yang menurut orang-orang hanya
terbilang konyol dan tak masuk akal. Dia, dia pangeranku, bang Angga.
Sepulang
mengaji dari MDA, bang Angga selalu memboncengku dengan sepedanya. Dia selalu
menungguku dengan membunyikan kring-kring lonceng sepeda itu berkali-kali.
“Wah,
pacarmu sudah jemput Ren.” Begitu ledekkan teman-temanku hampir setiap
kring-kring itu mereka dengar di teras depan MDA. Aku tak peduli dan hanya
tersenyum lebar. Dengan mata berbinar aku langsung berlari ke arahnya dan
langsung berbonceng memegang erat pinggangnya.
“Jangan
megang pinggang dong Dek, geli tau. Ntar kamu mau kita jatuh lagi?” Kalimat
yang selalu diucapkan saat aku tak sengaja dan terkadang sengaja memegang erat
pinggangnya sewaktu berbonceng.
“Iya
maaf, Bang aku lupa,” kataku. Walau tak jarang malah aku sengaja mencolek pinggangnya sambil
tertawa terbahak-bahak melihatnya kegelian, sementara sepeda yang dikendarainya
sudah oleng dan kemudian Bang Angga sengaja berhenti untuk mencubit pipiku
sambil berteriak, “iseng banget sih anak nakalllll”.
“Hahahaha....aku
pun tertawa dengan riangnya.”
“Ren,
buka pintunya, pinjam kunci motor kakak mau ke rumah Bu Siska ngantarin Ibu.”
Tiba-tiba pintu kamarku digedor-gedor.
“Iya
bentar, Kak.”
“Ngapain
kamu dari tadi, kakak teriak-teriak gak kedengeran? Tidur yaa? Tidur mulu sih,
Dek kerjaannya?“
“Nggak
kok kak. Kak Eca sih manggilnya dari jauh gitu ya gak kedengeran lah, Kak”
jawabku sambil manyun lima sentimeter.
“Yah
adek kakak yang satu ini gitu aja udah manyun,”tambah kak Eca lagi menggodaku.
Rumah
telah sepi, sesepi hatiku beberapa tahun lalu. Saat itu, saat-saat yang begitu
tak ku inginkan. Semenjak bang Angga telah melepas seragam putih abu-abunya.
Walaupun tetap melanjutkan kuliah di salah satu universitas di kota ini, tapi
tetap ada yang berbeda. Beberapa minggu berkuliah, pertama kali aku lihat dia
membawa seorang teman perempuannya bertamu ke rumahnya. Aku yang saat itu
mengintip dari balik jendela kamarku hanya bisa bermanyun-manyun dan
menarik-narik kesal kain gorden yang menutup sebagian jendela itu.
“Siapa
sih perempuan itu?” Mengapa dia berani mengambil alih posisiku. Biasanya kan
aku yang dibonceng di sana, meskipun biasanya pake sepeda.” Aku menggerutu
sendiri dalam hati.
Semenjak
hari itu bang Angga hanya sibuk dengan dunia kampusnya. Tak ada lagi canda tawa
seperti dulu, tak ada lagi kring-kring sepeda yang sering kudengar dulu, tak
pernah lagi aku dibonceng naik sepedanya.
“Angga
katanya pulang malam, Ren ada acara lagi di kampusnya.” Begitu yang akhir-akhir
ini acapkali kudengar dari mama bang Angga saat aku ke rumahnya.
Dengan
wajah muram, aku hanya menatap sepeda yang dulu selalu megantar jemputku ke
MDA. Sepeda yang memang sudah lama tak dipakai Bang Angga, semenjak kuliah dan
dibelikan sepeda motor baru oleh mamanya. Semuanya memang telah berbeda, bang Angga
begitu sibuk dengan dunia barunya. Walaupun terkadang pulang agak cepat dari
biasanya, itupun sama kak Mona, yang baru-baru
ini kutahu namanya sewaktu mamanya bang Angga cerita sama ibuku.
Setelah
lama tak kulihat bang Angga, suatu ketika aku tertegun saat melihat selembar
undangan berwarna merah jambu di meja tamu. Hari itu tepat di hari penentuan
kelulusan SMA. Kalau biasanya aku selalu juara kelas, lagi-lagi aku membuat
bangga ayah dan ibu karena mendapat nilai UN tertinggi di sekolah. Meskipun
begitu, hari yang seharusnya membuat aku tersenyum bahagia, justeru dirusak
oleh selembar kertas merah jambu tersebut. Tertulis di sampul depannya, Angga
& Mona. Aku tak tau apa yang kurasa. Mataku seperti menyimpan genangan yang
sangat ingin tertumpah. Hingga pada akhirnya tak mampu lagi kubendung. Iya, aku
menangis. Rena kecil yang kini sudah menginjak usia remaja telah kehilangan
seorang pangeran masa kecilnya.
Besok,
bang Angga akan datang, dan itu artinya aku akan bertemu lagi dengan cinta
pertamaku. Entah seperti apa dia sekarang. Telah lama kubayang-bayangkan
wajahnya karena tak sabar menunggu esok. Tapi tetap hanya langit-langit kamar
yang terlihat di mataku. Sementara pikiranku
semakin tak tentu. Hanya satu yang kini kutahu, semenjak saat itu, aku tak
pernah benar-benar bisa melupakan laki-laki itu.
* * *
Pagi
itu aku duduk di depan kaca di kamarku. Aku tatap lekat-lekat bayanganku di
cermin. Aku tak kalah cantik, pikirku. Kembali aku tambahkan bedak dan sedikit
lipstik berwarna natural di bibirku. Tiba-tiba jantungku berdetak makin kencang
saat terdengar bunyi mesin mobil di depan rumah. Diikuti suara beberapa orang
yang masuk menuju ruang tamu. Setelah itu terdengar pula suara yang begitu
akrab di telingaku. Suara itu tak berubah, masih suara yang selalu membuatku
tertawa dulu. Aku segera menuju ruang makan dan mengintip di balik lemari
pembatas antara ruang makan dan ruang tamu. Aku lihat seseorang berdiri di
situ. Sosok laki-laki yang bahkan sampai saat ini membuatku rindu. Seseorang
yang sampai saat ini masih tak pernah hilang dari ingatanku. Bang Angga.
“Rena
mana Tante?” kudengar lagi suaranya,
kali ini menyebut namaku.
“Ren..Rena.....”kudengar
ibu berteriak memanggil-manggil namaku.
“Mana
ya si Rena? Langsung aja cari ke belakang, Ngga.” Sahut ibu sambil melanjutkan
bercerita dengan Kak Mona dan anak-anaknya.
“Loh,
kamu di sini? Apa kabar, sayang? Udah besar ya kamu sekarang, makin cantik
lagi.” Tetiba diusapnya kepalaku. Aku hanya balas dengan tersenyum simpul. Dan
menatapnya dengan penuh arti. Aku hanya berdiri kaku di depan lelaki yang
sebenarnya sangat aku rindukan itu. Ingin sekali sebenarnya aku memeluknya
seperti dahulu saat berbonceng sepeda dengannya. Tapi aku tidak bisa apa-apa,
meski dia terlihat masih setampan dulu, hanya saja sedikit lebih gemuk, tapi
bagiku dia bukan bang Anggga ku lagi, bukan pangeran masa kecilku. Dahulu dan
sekarang sudah jauh berbeda. Aku terlihat sangat gugup berdiri di situ, dia
juga begitu, tak terlalu mampu mencairkan suasana yang kian beku. Saat ini aku
tak terobsesi lagi untuk memilikinya. Jelas saja aku juga tak ingin mengganggu
rumah tangga orang. Dan juga saat ini aku sudah punya Riky yang menurut
pengamatanku tak jauh berbeda dengan Bang Angga. Dia sangat menyayangiku dan
menunjukkan sikap serius untuk menunggu wisudaku dan kemudian mempersuntingku.
Laki-laki
yang kini tepat berada di depanku memang hanya episode masa laluku yang mungkin
tak terlupa. Tak kupungkiri, ia punya ruang tersendiri di hatiku. Sebagai
sahabat, sebagai kakak laki-laki, dan juga sebagai cinta pertamaku, cinta
monyetku. Tapi saat ini, setidaknya, aku hanya ingin dia tahu tentang
perasaanku dan aku tahu juga perasaannya. Aku coba mencari-cari lewat tingkah
dinginnya setelah satu dua kalimatnya yang hanya kujawab dengan senyum simpul
tadi. Mungkin aku dan dia tak berani mengeja apa-apa, tapi hanya sama-sama
membaca, lewat tatap mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar