Rabu, 28 Oktober 2015

Padang Ilalang Oleh: Restia Rahmi

Padang Ilalang
Oleh: Restia Rahmi
Barangkali karena panas yang terlalu menyengat, hingga terpantul  dari bentangan aspal jalanan mana saja di kota ini. Barangkali karena pepohonan hijau yang semakin terancam punah, hingga gerah berkepanjangan tak kuasa lagi kuhindari. Aku? Mungkin tak hanya aku, tapi juga seluruh penghuni kota ini. Panas dan gerah, tentu hal itulah yang menjadi alasan utama bagiku untuk memilih bertapa di ruangan kecil, kamar kostku. Maret yang begitu gersang, membuat pikiranku menerawang dan hinggap pada kenangan panjang masa kecilku. Dulu, di hamparan tanah bertumbuhkan ilalang itu aku acap kali bermain. Berkejar-kejaran dengan teman-teman masa kecilku. Berlarian di sepanjang padang ilalang, hingga senja menjelang. Tapi senja pun tak jua membuat kami ingin pulang. Aku lebih suka memilih senja di padang ilalang itu. Entah mengapa, kurasa indah saja. Aku bisa merasakan semilir angin yang berhembus dengan lembutnya. Aku lebih suka duduk dan memandang jauh ke ujung hamparan ilalang itu, saat senja menjelang. Saat letih menyapa setelah hampir setengah hari berlarian kesana kemari. Aku lebih memilih diam, saat teman-temanku yang lain masih bercerita dengan semangatnya. Tentang pertandingan bola antar kampung yang dua minggu lagi akan diadakan, bertepatan dengan liburan semester. Tentang kejadian-kejadian lucu di sekolah tadi, tentang teman-teman MDA yang usil, tentang apa saja. Tapi bagiku, senja itu lebih menarik untuk dinikmati, lebih indah untuk dipandangi saja, tanpa komentar apa-apa.
Dua puluh menit terdiam, sepertinya masih belum cukup untuk melamunkan pikiran ini pada masa-masa indah dulu. Sepertinya aku tak hanya ingin sekedar melamunkannya, tapi juga mengulangnya. Tapi tentu saja ketidakmungkinannya akan lebih kuat dari kata mungkin yang sebetulnya lebih kuharapkan. Kesibukan kampus akhir-akhir ini yang begitu menjenuhkan membuat aku seringkali malas untuk beraktivitas. Ditambah lagi dengan masalah masalah yang menurut sebagian orang mungkin ‘tidak penting’. Masalah rumit, misterius, dan juga sulit terpecahkan. Seperti teka-teki saja. Bahkan detektif ternama dengan alibi yang kuat pun akan mudah untuk menyerah. Karena ini sangat sulit untuk teranalisis logika. Apalagi kalau bukan masalah hati. Ah, aku benci saja membahasnya. Andai saja perasaan itu seperti komputer yang memiliki tombol ‘delete’ yang kapan saja bisa aku tekan. Huh, tentu sudah dari dulu aku lakukan itu. Meskipun bias cahaya yang dia pantulkan lebih indah dari ‘me-ji-ku-hi-ni-bi-u’ yang seringkali aku tatap dari padang ilalangku dulu, tapi tetap saja kadar indah cahaya itu tidak pas hingga berdampak buruk untukku. Entah itu merusak mataku, iya seperti itulah kira-kira, tapi lebih anehnya malah merusak hatiku. Dia tak lebih dari sekedar bayangan semu yang hanya bisa menebar pesona di setiap pasang mata yang ada di dekatnya. Tanpa menjanjikan apa-apa. Semu, akan selamanya menjadi semu. Hingga kesemuan itulah yang akan menjadikannya selamanya semu. Tak akan pernah menjadi nyata.
Dulu, di padang ilalang itu aku sangat suka tertawa. Tertawa selepas-lepasnya seperti hidup ini adalah surga. Yang aku tau hanyalah berlari-larian bersama mereka sesuka hatiku. Tak ada beban apa-apa, tak ada pikiran apa-apa, bercerita apa saja dengan wajah polos dan lugu sembari menunggu senja. Indah sekali, bahkan membuat aku lupa bahwa seiring perputaran waktu itu jua yang mengantarkan aku hingga tumbuh dewasa. Tapi kini, di saat seperlima abad usiaku usai sudah kulewati, dengan hari-hari panjang yang sebenarnya singkat sekali. Diiringi cerita-cerita suka berbaurkan duka, aku jalani tanpa henti. Mengiringi putaran waktu menuju senja, dan menanti pagi. Menapaki siklus kehidupan yang berputar pada porosnya. Aku seperti tersentak dari mimpi indah yang cukup panjang. Banyak sekali hal-hal baru yang sepertinya tak kukenali, hingga kadang membuatku gamang dan hanya tegak terpaku seperti membeku. Sepertinya aku masih butuh waktu untuk menyusun strategi. Tapi tetap, semua itu begitu menjenuhkan.
Di padang ilalang itu aku suka sekali menatap jauh ke ujung sana, menikmati semilir angin yang membelai manja rambutku. Memandangi kawanan burung pipit yang menari-nari di pucuk pohon itu. Padang ilalang itu, seperti surga untuk aku dan teman-temanku. Berbeda seratus 180 derajat dengan saat ini. Saat bias semunya seakan mampu membiusku. Tak sekedar itu, bahkan telah mampu mengacaukanku. Masih kuingat dengan jelas, saat teman dekatku selalu bercerita tentang dia dan sebongkah perasaannya kepadaku. Dan aku, dengan segenap kepolosan dan keluguanku dengan mudahnya berbunga-berbunga. Merah jambu warnanya hatiku, saat dia dengan tersenyum lembut selalu menyapaku. Merah meronanya wajahku, saat dia dengan bangganya menyebut namaku, bahkan di depan teman-temanku. Begitu bodohnya aku. Dan tak tertahannya tangis ini, saat aku tau kalau ternyata aku hanya sekedar tempat persinggahan, saat lelah dengan apa yang ditujunya, saat jenuh dengan sesuatu yang ingin diraihnya. Dan kini, ketika lelah dan jenuh itu telah mampu aku hilangkan, dengan mudahnya ia pergi, dan akan mencari tempat persinggahan yang baru saat lelah dan jenuh kembali menghampiri.
Di padang ilalang ini, aku hampir menghabiskan masa kecilku. Di sana juga aku dan teman-teman selalu bercerita, dari pulang sekolah, hingga waktu senja tiba. Aku juga suka menatap mawar saat bersemi dengan indahnya. Meskipun mawar itu berduri, tapi tetap saja menarik, karena akan mempunyai kepuasan tersendiri bagi orang yang berhasil memetik mawar yang dahannya dipenuhi duri yang tajam itu. Tentu saja setiap orang yang ingin memetik mawar tersebut telah siap dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya nanti. Entah itu terluka oleh durinya, ataupun sekedar gores saja. Itu juga yang dulu sudah kuputuskan, membiarkan perasaan itu menari-nari indah dalam anganku. Mengizinkannya hingga menguasai separuh warasku. Hingga nelangsa yang kurasa saat semua hanya semu belaka. Tapi itulah konsekuensi yang harus kuterima.
Padang ilalang, yang selalu mampu mengusir lelahku dan teman-temanku dulu, yang selalu setia mendengar cerita-cerita kami, dan yang selalu bersedia menjadi tempat persinggahan kami, kurang lebih ternyata sama seperti aku. Tapi pernahkah dia membenciku? Saat kini kutemukan tempat-tempat baru di sini. Saat tak ada waktu lagi bagiku dan teman-temanku untuk sekedar menjenguknya kala aku pulang ke kampung halamanku. Saat aku sibuk dengan apa yang ingin kutuju, saat aku lengah dengan sesuatu yang hendak kuraih. Tidak, padang ialalangku tidak pernah membenciku. Bahkan dia akan tetap ada saat nanti (bahkan entah kapan) aku menyempatkan waktu lagi untuk menatap senja di sana. Dia akan tetap ada. Setidaknya aku bisa belajar dari padang ilalangku untuk tidak saling membenci, meski pun hanya sekedar tempat persinggahan, tapi tetap saja dia pernah menjejaki tempat itu. Terima kasih padang ilalangku, yang telah membuat aku sadar tentang banyak hal, bahwa kehidupan itu tentang bagaimana memberi dan juga menerima.

Untuk padang ilalangku, terima kasih untuk senja indahnya, terima kasih untuk semilir anginnya, terima kasih untuk kenangannya. Dan untuk kamu, terima kasih untuk bunga-bunga semu yang pernah kau tabur di hati ini, terima kasih untuk goresan lukanya, yang telah mampu mengajarkanku untuk lebih ikhlas dalam menerima. Kamu, dan padang ilalangku. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar