Kamis, 26 Desember 2013

Embun, Si Penggembala

       Senja beringsut datang. Angin mendesau mencipta irama tersendiri bagi liukan ilalang yang berjejer di sepanjang pematang sawah itu. Matahari tampak menguning sembari besembunyi ke pangkuan malam. Memberi isyarat pada kawanan kelelawar bahwa ini saatnya mencari makan. Seolah berada dalam sebuah kompetisi, mereka seakan berlomba untuk terbang paling tinggi. Puluhan itik pun berderet rapih di sepanjang pematang untuk pulang ke kandang. Perpaduan senja yang sempurna, senja yang menawan. Senja di antara pematang sawah, di sebuah pinggiran desa.
       Desa Tarok, yang terletak di sebuah kabupaten yang tak jauh dari kota Payakumbuh adalah tempat anak lelaki itu dilahirkan. Meski terlahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang kurang beruntung, tak lantas membuatnya patah semangat. Embun namanya, sedikit kurus dan tidak terbilang tinggi untuk bocah seumurannya. Sawo matang kulitnya agak terbungkus oleh bekas-bekas luka dan balutan lunau sawah yang setiap hari digelutinya. Subuh-subuh sekali ia sudah pergi ke sawah yang berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya. sebuah bangunan yang berdinding anyaman bambu, berlantaikan tanah, dan beratapkan rumbio itulah tempat ia, Apak, dan Amaknya beristirahat setelah seharian menghabiskan waktu di sawah-sawah tetangga yang sedang butuh tenaga mereka.
       Subuh ini seperti biasa Embun sudah bangun untuk memulai aktivitasnya. Ia memang seorang anak yang rajin, tau diri, dan juga tak pernah meninggalkan shalat seperti yang diajarkan Apak semenjak embun masih berumur lima tahun. Pernah suatu ketika Embun lupa untuk shalat Ashar karena terlalu asyik bermain dengan kambing-kambing gembalaannya. Waktu itu sudah jam enam sore. Apak yang baru keluar dari sawah dan masih berbalut lumpur itu menyadari kalau anak lelakinya yang telah diingatkan untuk shalat sedari tadi masih keasyikan berlarian sambil sesekali tergelak melihat ulah kambing-kambing gembalaannya. Apak sangat marah melihat hal itu. Sebab urusan shalat itu bukan main-main, begitulah yang selalu diajarkan Apak kepada Embun. Dengan bergegas Apak mencari lidi daun enau yang terletak tidak jauh dari sawah tersebut dan melecutkan sampai kaki kiri Embun tampak memerah. Embun  menangis kesakitan sambil meminta ampun dan berjanji tidak akan mengulanginya. Semenjak saat itu ia sangat jera dan tidak pernah mau meninggalkan shalat lima waktu.
       Setelah shalat subuh, Embun bergegas ke kandang kambing yang berjarak sekitar sepuluh meter di belakang rumahnya. Seperti berpacu dengan mentari, ia dengan cepat menggiring kambing-kambing itu ke sawah untuk mencari makan. Kambing yang berjumlah sekitar sepuluh ekor itu sebenarnya bukan miliknya. Ia hanya dipercayai oleh Pak Mansur, seorang guru SMP di desa itu. Setelah mengikatkan beberapa utas tali ke pohon cubadak (nangka), dan memastikan kambing-kambing itu telah melahap rumput-rumput hijau ia kembali ke rumahnya untuk mandi dan bersiap-siap untuk ke sekolah. Ketika sore menjelang, sehabis Ashar ia kembali ke sawah tersebut untuk menyabitkan beberapa karung rumput sebagai cadangan untuk makanan kambing-kambingnya. Hal itulah yang setiap hari dilakukannya tanpa bosan, dan jenuh. Supaya tetap bisa bersekolah, supaya nanti bisa kuliah, sebuah cita-cita yang terlalu tinggi, seperti kata teman-temannya sesama anak petani miskin di kampungnya.
*        *          *

       “Apa ang tidak ke sawah, Nak? Bukannya ini sudah kesiangan, sebentar lagi terang, kambing-kambing ang harus makan, dan nanti ang juga harus berangkat sekolah”, kata ibu dengan lembut melihat anak bujang-nya yang masih bermenung di bangku-bangku depan rumahnya dengan kain sarung yang disandangnya di leher.
       “Aden maleh, Mak. Rasanya sudah capek jadi penggembala terus. Kenapa yah Mak kita tidak bisa seperti tetangga yang lain. Si Riko contohnya, Amaknya hanya seorang guru honor TK, Apaknya mondar-mandir saja sepanjang kampung mengurusi bisnis BT (togel) nya dari lapau ke lapau, tapi ia tetap bisa bersekolah tanpa harus menggembala seperti waden. Si Anas, Riska, Tanti pun begitu. Apaknya hanya pembuat tuak, tapi kenapa tetap bisa ke sekolah dengan baju bagus, sepatu keren, dan juga membawa hp Mak?” sedangkan aden setiap hari sudah capek mengurusi kambing-kambing itu tapi tak juga jadi beruntung seperti mereka.”
       Amak yang sedari tadi dengan serius mendengarkan keluhan anak bujangnya itu tersenyum lembut penuh arti. “Sekarang amak mau bertanya, sudah kelas berapa waang sekarang, Nak?”
       “Kelas enam, Mak”, kata embun dengan sopan.
       “Kalau begitu, sebentar lagi waang akan melanjutkan sekolah ke tingkat SMP. Apa waang tetap mau kuliah dan menjadi sarjana seperti uda Zein, anak Pak Mansur?”
       “Iya, Mak, tentu saja.”
       “Untuk bisa meraihnya, tentu tak bisa hanya dengan main-main, Nak.” Sama seperti prestasi-prestasi yang selalu ang raih di sekolah. Kalau ang main-main dan tidak sungguh-sungguh belajar, apa bisa selalu menjadi bintang kelas?”
       Perempuan itu menjelaskan dengan pancaran wajah yang penuh kasih sayang kepada anaknya. Begitulah amak, ia perempuan tersabar yang selalu mengajarkan tentang kelembutan seorang ibu, mengajarkan arti dari usaha dan doa, menurutnya, hidup ini bukan tentang keberuntungan, akan tetapi tentang seberapa besar kerja keras. Hal itulah yang selalu diyakini Amak sejak dulu, sehingga ia tak pernah menyerah, ia tak pernah putus asa dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Sudah beberapa pagi berlalu setelah Embun banyak merenung dan kurang bersemangat mengurusi kambing-kambingnya. Tapi Amak, bak embun penyejuk di kala kehausan, bagai kunang-kunang di pekatnya malam, dengan limpahan cinta yang tiada tara selalu berhasil memacu semangat Embun untuk tetap semangat meraih cita. Begitu pun dengan Apak, beliau sosok dingin yang tetap idola di mata anak-anaknya. Sorot tajam matanya, satu kalimat meluncur dari mulutnya, semua gerak-geriknya menjadi bermakna di mata Embun, kedua adiknya, dan tentu juga di mata Amak yang selalu menyayangi dan menghormati suaminya. Begitulah keluarga mereka, sebuah keluarga yang serba kekurangan dari segi materi akan tetapi selalu mengimbangi kekurangan-kekurangan itu dengan cinta.
*        *          *
       Senja menjelang pasti, panas terik sehari ini membuat letih para petani yang berjerih demi mendapatkan sesuap nasi untuk anak-anak mereka, untuk melanjutkan hidup. Embun yang tampak kelelahan kerena memang setiap hari berjalan kaki dengan sepatu yang sudah bolong di tumitnya itu tertidur pulas di dangau-dangau sawah tempat ia biasa mengikatkan kambing-kambingnya. Tiupan angin sepoi yang membelai lembut tubuhnya terasa hangat serasa pelukan Amak yang dapat mengusir lelahnya.  Akan tetapi, tidur nyenyak itu dibangunkan oleh suara kambing yang membebek tak karuan. Embun tersentak dan langsung menuju ke dekat pohon cubadak tempat ia mengikatkan kambing-kambing itu. Ia sangat kaget ketika sampai di sana, delapan kambingnya raib entah kemana. Hanya tinggal tali-tali pengikat dan dua ekor kambing yang tengah membebek dan berusaha melepaskan ikatannya. Embun terlihat sangat panik, ia berlari-lari ke sepanjang pematang, sampai ke parak jagung di sebelah atas sawah tersebut, tapi tetap tak membuahkan hasil. Ia sangat cemas, dengan apa ia akan membayar kerugian kepada Pak Mansur karena kehilangan delapan ekor kambing-kambing itu. Jangankan untuk mengganti rugi seharga kambing-kambing itu, uang ujian semester satu yang akan dilaksanakan lusa saja masih belum ada. Apak menjanjikan akan mengakalinya kepada pak Mansur, tentu saja atas nama hutang dan akan dipotong dari gaji hasil gembalaan Embun yang diterima nanti setelah pembagian hasil penjualan kambing-kambing tersebut.
       “Tadi aden Cuma tertidur sebentar, Mak. Tapi setelah bangun kambing-kambing itu sudah tak ada.”
       “lalu kemana kambing-kambing itu, Nak? Dengan apa kita akan ganti kepada pak Mansur delapan ekor kambing tersebut”, kata amak yang belum pernah terlihat sepanik ini.
       “Sudah, tak ada gunanya menyesali di sini. Lebih baik sekarang kita berpencar mencari kambing-kambing yang hilang itu”, kata bapak menenangkan Embun dan amak yang tampak sangat panik itu.
       Mereka pun berpencar untuk mencari kambing-kambing yang hilang. Amak mencari ke arah utara sampai ke desa sebelah, Embun mencari ke arah belakang rumahnya, dan Apak kembali ke sawah tempat Embun menggembalai kambing tersebut. Matahari benar-benar telah kembali ke peraduan. Hari sudah gelap, Apak kembali ke rumah dengan tangan kosong, begitu juga dengan Amak dan Embun, dua kambing sisa dari kambing yang hilang yang diikatkan di pohon depan rumah tampak membebek panjang dan terlihat tak sabar untuk kembali ke kandang. Akhirnya apak menagajak mereka untuk shalat magrib berjamaaah dulu. Nanti mereka akali bagaimana cara menjelaskan kepada pak Mansur.
       “Jangan lupa berdoa kepada yang di atas, Nak. Hanya Dia yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Mintalah petunjuk dan jalan keluar atas masalah dan kesulitan yang kita alami ini”, kata amak yang tampak sedikit lebih tenang setelah shalat magrib tadi.
       Embun menggiring dua ekor kambing yang masih ada tadi ke kandang dengan membawa sebuah senter untuk pencahayaan karena hari sudah sangat gelap. Tapi beberapa meter dari arah kandang cahaya senternya tertuju kepada beberapa binatang yang tampak kaget karena kedatangannya. Ia baru menyadari bahwa ternyata kambing-kambingnya yang hilang telah ada di sekitar kandang tersebut. Embun bersorak gembira dan segera memberitahukan kepada Apak danAmak.
       Begitulah sesosok Embun kecil yang selalu diajarkan Apak dan Amak untuk selalu bekerja keras jika ingin memperoleh sesuatu. Ia banyak belajar dari kesusahan hidup dan dari kesulitan-kesulitan dan ujian hidup yang berat untuk anak seusianya. Akan tetapi, hal itulah yang membuatnya makin tegar dalam setiap masalah-masalah yang dihadapi. Dari sinilah cerita ini bermula, Embun, seorang penggembala kambing yang berjuang keras demi melanjutkan hidup dan demi sebuah gelar sarjana.

Minggu, 12 Mei 2013

Senja Senja Bersama Fajar



Dear Fajar...
Ini speciall, teruntuk kamu (fajar-ku)
. Taukah kamu bahwa langit senja tak lagi jingga seperti waktu itu? tentu saja, karena sekarang aku menatapnya sendiri, tanpa kamu. Taukah kamu bahwa pagi tak lagi sumringah seperti dulu? Tentu saja, karena aku tak mengawalinya bersama kamu, tak ada lagi secangkir teh yang kita kita nikmati berdua. Tak ada lagi senyum merekah tulusmu. Mungkin tak banyak yang bisa kutulis malam ini, karena jantung kerinduan ini hanya berdetakkan namamu.
                                                                                                Yang teramat merindukanmu,
                                                                                                           
                                                                                                            Senja
Satu jam berlalu setelah mentari menghilang meninggalkan senja, menjemput malam. Pergantian itu kunikmati sendiri, dengan segenap kegundahan hati. Rembulan pun enggan menyunggingkan senyum tipisnya malam ini, seperti bersekutu dengan bintang untuk melengkapi kesendirianku. Tapi aku tidak sendiri, malam ini telah menyatu dengan kelam, mengundang semilir angin yang dinginnya mampu menembus setiap pori hingga menusuk tulang. Tiupan angin itu pula yang menerbangkan bayangan dia dan menebarkannya di depan mata dan pikiranku.
Namaku Senja, dan namanya Fajar. Itulah yang kami tahu semenjak perkenalan di penghujung Agustus lima tahun yang lalu. Entah dari arah mana dia datang tiba-tiba dan duduk di sampingku. “Tidak sopan sekali lelaki ini”, hal itulah yang terlintas dibenakku saat pertama kali mengenalnya.
“Ngapain kamu duduk sendirian di sini? Ngelamun lagi, ntar kesurupan lho.”
“Aku ngga ngelamun kok. Aku cuma ingin menikmati senja, coba kamu lihat, indah sekali kan?”
“Iya, sama seperti kamu.”
Aku terdiam mendengarkan kata-kata yang tiba-tiba terlontar dari lelaki yang baru aku kenal beberapa menit yang lalu itu. Andai saja dia tahu, aku bukan sekedar suka menatap senja, tapi ada rasa lain yang diam-diam merasukiku. Aku iri pada senja, yang mampu  memberikan kedamaian bagi banyak orang yang memandangnya. Aku merasa tak pantas menjiplak namanya, senja itu terlalu indah, tidak seperti aku yang membuat khawatir semua orang.
 “Ah fajar, aku ini tak layak kau samakan dengan senja. Andai saja kau tahu, aku tak seindah itu.”
“Aku serius lho, kamu itu beda. Pertama kali melihat kamu, entah mengapa aku merasa kamu itu spesial.”
“Aku gadis 20 tahun yang positif mengidap Leukimia. Bahkan dokter memvonis bahwa aku tak akan bisa bertahan lama.”
Tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari bibirku kepada lelaki yang baru saja aku kenal. Tapi tak sedikitpun gurat wajah kaget kutemui dari lelaki itu, bahkan dia tampak tenang dan menanggapi biasa-biasa saja kalimatku. Laki-laki ini juga seolah mampu mencairkan seorang aku yang dingin, beku, dan akan lebih memilih diam saat orang-orang mengajakku bicara. Jangankan untuk menanggapi mereka, untuk sekedar tersenyum tipis pun aku jual mahal, karena itulah aku lebih suka menyendiri di sini, di tepi danau ini.
“Aku  tak percaya bahwa penyakit itu membunuh. Aku paling benci, mendengar dokter yang memvonis pasiennya bahwa tidak akan bisa hidup lebih lama. Bagiku kematian  itu sangat dekat bagi siapa saja, tanpa terkecuali.”
Dia tersenyum tipis kepadaku. Dengan tatapan sayu yang menyiratkan kekosongan, aku balas senyuman tipis itu. Aku tahu, dia hanya menghiburku agar tak terlalu memikirkan penyakitku. Tapi kurasa percuma, bagaimanapun, aku akan lebih dulu pergi. Meski Fajar bilang bahwa kematian itu sangat dekat dan akan menghampiri siapa saja, tentu aku yang memiliki alasan kuat untuk pergi lebih dulu. Aku akan meninggalkan mama, papa, keluarga tercinta, dan aku akan meninggalkan kamu, lelaki bermata malaikat yang tanpa aku sadari telah mampu membuat aku lebih sering tersenyum akhir-akhir ini.
*        *          *
Sepi semakin merajai malam. Dentingan sebelas kali dari arah ruang tamu membuyarkan lamunanku. 23.00 WIB, saat aku lirik jam di ponselku. Satu jam lagi menuju tengah malam tak lantas meredupkan sepasang mataku yang benar-banar tak ingin terpejam. Kerinduan ini telah menjadi alasan utama yang membuatku enggan untuk memanjakan mata lelah ini.
Fajar, seperti manusia berhati malaikat yang dikirimkan Tuhan untukku. Dengan sabar selalu membimbingku di saat aku salah. Apalagi ketika aku benar-benar putus asa karena penyakitku yang makin hari makin parah. Wajah yang semakin pucat pasi, kurus kering, membuatku sering mengeluh dan menangis sendiri. Aku sering tak kuasa menahan sakit yang menggerogoti seluruh tubuhku, entah dari mana asal sakit itu, entah dari tulang belulang, yang aku tahu, sakit itu seperti telah menyatu dengan tubuhku. Ditambah lagi dengan darah segar yang seringkali menetes lewat hidung, membuatku semakin kehilangan semangat untuk bertahan hidup. Di saat-saat seperti itu fajar selalu ada untukku, menasihati dan mengalirkan semangat hidup yang luar biasa bagiku.
“Fajar, kalau aku boleh memilih, aku  lebih baik mati saja daripada harus menderita sakit seperti ini, membuat khawatir dan menyusahkan banyak orang. Aku merasa tidak berguna. Hidupku seperti sia-sia.” Itulah kalimat yang pernah kuucapkan kepada fajar pada suatu senja, di tepi danau tempat kami biasa menghabiskan senja di sana, tempat kami pertama kali bersua. Sepasang mata lembut itu kembali menatapku, dan tersenyum amat manis sekali. Senyuman itu seperti membuatku menyesal telah mengucapkan kata-kata tadi.
“Ssstt....kamu tidak boleh bicara seperti itu lagi. Senja, kehidupan itu adalah hadiah yang diberikan Tuhan kepada setiap orang, dan kamu harus bersyukur dengan hidupmu. Kamu harus bersyukur disayangi banyak orang. Ada mama dan papa yang selalu menjaga kamu, ada keluarga, sahabat yang selalu tulus sama kamu, dan juga ada aku. Aku janji, akan membuat senja-senja kamu lebih indah.”
Lagi-lagi Fajar, kembali meyakinkanku untuk bertahan hidup. Meskipun dalam kondisi yang semakin lama semakin parah, aku selalu berusaha untuk tetap tersenyum untuk meyakinkan semua orang bahwa aku tidak apa-apa, meskipun sebenarnya yang kurasakan berbeda jauh dengan yang aku perlihatkan kepada semua orang.
Senja ini, setelah seminggu terbaring di kamar karena kondisi kesehatanku yang menurun drastis, aku menelepon Fajar agar menjemputku untuk menikmati senja di tepi danau. Meskipun dalam kondisi yang sebenarnya sangat lemah, tapi aku rindu sekali tepian danau tempat kami menatap lembayung indah di langit senja. Sebenarnya fajar sangat menghawatirkan kesehatanku, tapi karena aku tetap bersikeras meyakinkannya bahwa aku tidak apa-apa, akhirnya fajar menjemputku ke rumah. Mama dan papa sebenarnya juga sangat berat melepasku untuk keluar rumah. Tapi karena aku ngotot untuk tetap ingin pergi akhirnya mereka pun mengizinkan untuk sebentar saja.
Danau ini terlihat berbeda dari biasanya. Entah karena aku yang sudah lama tidak mengunjunginya, atau memang karena alam yang ingin terlihat lebih anggun di depan kami berdua. Terutama di depan aku yang mungkin saja tidak akan punya waktu lagi menikmati senja di sini bersama fajar. Tak banyak yang bisa terucap dari bibirku. Aku lebih menikmati senja ini dalam diam, sesekali melirik  fajar yang juga lebih memilih untuk bungkam. Hening, hanya riak-riak danau yang menepi bersama tiupan angin yang sesekali terdengar memecah sepi. Aku menatap jauh ke ujung sana, dengan tatapan setengah kosong yang aku sendiri juga tak tau artinya. Tiba-tiba mataku serasa semakin sayu, kepalaku berat sekali, dan kedua kakiku tak kuasa lagi menopang tubuhku. Semakin lama seberang danau yang sejak tadi kutatap semakin memudar, membayang, lalu hilang. Hanya gelap yang membawaku ke negeri antah berantah.
*        *          *
“Kita harus melakukan pencangkokan sumsum tulang belakang pak”, kata dokter yang menanganiku kepada papa.
“Apa pencangkokan ini akan berhasil menyelamatkan nyawa putri saya dok?”
“Semoga saja pak, kalau tubuh senja menerima sumsum tulang yang baru, maka ada harapan bagi Senja untuk sembuh. Tapi..”
“Tapi apa dok?”
“Kita berdoa saja pak, semoga tidak terjadi penolakan dari tubuh resipien, dan semua bisa berjalan lancar.”
Semua begitu mencemaskankan keselamatanku. Transplantasi sumsum tulang yang baru saja dilakukan tentu saja memunculkan segala kemungkinan, kemungkinan untuk sembuh, atau aku akan pergi selama-lamanya. Entah sekarang aku dalam keadaan sadar ataupun tidak, tapi bayangan orang-orang terdekatku seperti nyata tersenyum ke arahku dan memintaku untuk bertahan. “Aku harus kuat, dan semua akan baik-baik saja.”
Beberapa hari setelah transplantasi itu dilakukan, kondisiku makin membaik. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa tubuhku menolak sumsum baru itu. Hanya saja  tubuhku masih terasa sangat lemah. Dua minggu berlalu, dokter sudah mengizinkanku untuk pulang meskipun harus rutin ke Rumah Sakit untuk melakukan terapi-terapi lanjutan.
Penghujung Agustus ke-empat setelah aku bertemu Fajar pada suatu senja di danau itu. Itu berarti 29 Agustus ke-empat pula yang telah aku rayakan bersama Fajar. Tepat pada hari kepulanganku dari Rumah Sakit, dan hari ini adalah hari jadiku yang ke-24. Aku sangat senang, bahkan harapan-harapan kehidupan baru bermunculan lagi di depan mataku. Aku membayangkan hari-hari yang akan lalui bersama mama, papa, Fajar, dan juga sahabat-sahabat yang sangat aku sayangi. Meskipun kematian itu dekat, tapi setidaknya, Leukimia yang aku derita selama ini tidak lagi menyakiti tubuhku lebih lama lagi. Tentu saja aku hanya termasuk sebagian kecil orang yang mampu bertahan dari Leukimia. Aku beruntung sekali, terutama memiliki keluarga dan juga Fajar yang selalu mengalirkan energi kehidupan kepadaku.
“Senja, hari ini adalah hari yang yang sangat membahagiakan dalam hidupku, bisa melihat kamu tersenyum manis dari biasanya. Aku janji, akan membuat senja-senjamu lebih indah lagi. Tunggu aku di tepi danau tempat biasa, datang sendiri yah, karena senja ini paling spesial.”
Satu pesan masuk di ponsel-ku yang bertuliskan nama fajar. Tak terbayangkan betapa bahagianya hatiku saat ini. Dua Puluh Sembilan Agustus, tepat pada hari jadiku. Dan Fajar pasti telah mempersiapkan kejutan spesial sebagai hadiah ulang tahunku.
Mentari lebih cerah dari senja-senja sebelumnya. Seluruh jagad raya seakan ikut merayakan kesembuhanku. Aku tidak sabar menunggu senja ini. Setelah berdandan seanggun mungkin dengan balutan busana Ungu kesukaanku, aku minta diantar papa ke Danau yang terletak tidak terlalu jauh dari rumahku. “Fajar, aku begitu merindukan saat-saat ini.
Dua Puluh menit berlalu, aku masih duduk dengan sabar menunggu kedatangan Fajar. Danau kenangan itu menatap heran kepadaku, mungkin karena Fajar yang tidak biasanya membiarkanku menunggu. Sudah terlalu lama aku duduk terpaku di sini. Langitpun semakin indah dengan Jingganya. Burung-burung beterbangan di atas kepalaku seolah memberikan pesan yang tidak terbaca olehku. Semilir angin semakin dingin membungkus kulitku. Dengan sebongkah harapan yang teramat sangat aku masih menunggu Fajar di sini, di danau tempat kami menikmati senja yang perlahan berganti malam. Tiba-tiba ponsel-ku berdering. Tanpa melihat nama penelpon yang tertulis di ponsel, aku segera menjawab telepon itu.
“Senja, kamu lagi dimana?”
“Aku di tepi danau tante, menunggu Fajar, “jawabku seadanya.
“Kamu harus ke Rumah Sakit sekarang.” Dengan suara serak dan tangis tertahan perempuan itu mematikan sambungan teleponnya.
*        *          *
Fajar, tanpa terasa sudah genap 365 hari kepergianmu. Aku masih tak percaya dengan kejadian itu. Kamu itu benar-benar seperti malaikat yang sepenuhnya menginginkan kesembuhanku. Hari ini, adalah hari yang sangat bersejarah bagiku. Hari dimana kamu mengajarkan arti pertemuan dan sekaligus perpisahan untukku. Fajar, meskipun kita berada pada dimensi yang bebeda, tapi tak lantas bisa memudarkan kamu dari hatiku. Kamu adalah kenangan dalam keabadian yang telah mampu mengajarkanku akan arti kehidupan. Meskipun bagi mereka kamu telah tiada, tapi bagiku, kamu akan hidup selamanya.
Tepat jam 03.00 mata ini masih terjaga. Bayangan Fajar masih menari-nari di kepalaku. Semua hari-hari yang kulalui bersamanya begitu membekas dan tak bisa hilang begitu saja. Sepasang mata ini benar-benar tidak bisa terpejam, tetap terjaga, hingga fajar menyingsing menjemput pagi.

Padang, Mei 2013

Jumat, 15 Maret 2013

Cerpen Padang Ilalang



Padang Ilalang
Oleh: Restia Rahmi
Barangkali karena panas yang terlalu menyengat, hingga terpantul  dari bentangan aspal jalanan mana saja di kota ini. Barangkali karena pepohonan hijau yang semakin terancam punah, hingga gerah berkepanjangan tak kuasa lagi kuhindari. Aku? Mungkin tak hanya aku, tapi juga seluruh penghuni kota ini. Panas dan gerah, tentu hal itulah yang menjadi alasan utama bagiku untuk memilih bertapa di ruangan kecil, kamar kostku. Maret yang begitu gersang, membuat pikiranku menerawang dan hinggap pada kenangan panjang masa kecilku. Dulu, di hamparan tanah bertumbuhkan ilalang itu aku acap kali bermain. Berkejar-kejaran dengan teman-teman masa kecilku. Berlarian di sepanjang padang ilalang, hingga senja menjelang. Tapi senja pun tak jua membuat kami ingin pulang. Aku lebih suka memilih senja di padang ilalang itu. Entah mengapa, kurasa indah saja. Aku bisa merasakan semilir angin yang berhembus dengan lembutnya. Aku lebih suka duduk dan memandang jauh ke ujung hamparan ilalang itu, saat senja menjelang. Saat letih menyapa setelah hampir setengah hari berlarian kesana kemari. Aku lebih memilih diam, saat teman-temanku yang lain masih bercerita dengan semangatnya. Tentang pertandingan bola antar kampung yang dua minggu lagi akan diadakan, bertepatan dengan liburan semester. Tentang kejadian-kejadian lucu di sekolah tadi, tentang teman-teman MDA yang usil, tentang apa saja. Tapi bagiku, senja itu lebih menarik untuk dinikmati, lebih indah untuk dipandangi saja, tanpa komentar apa-apa.
Dua puluh menit terdiam, sepertinya masih belum cukup untuk melamunkan pikiran ini pada masa-masa indah dulu. Sepertinya aku tak hanya ingin sekedar melamunkannya, tapi juga mengulangnya. Tapi tentu saja ketidakmungkinannya akan lebih kuat dari kata mungkin yang sebetulnya lebih kuharapkan. Kesibukan kampus akhir-akhir ini yang begitu menjenuhkan membuat aku seringkali malas untuk beraktivitas. Ditambah lagi dengan masalah masalah yang menurut sebagian orang mungkin ‘tidak penting’. Masalah rumit, misterius, dan juga sulit terpecahkan. Seperti teka-teki saja. Bahkan detektif ternama dengan alibi yang kuat pun akan mudah untuk menyerah. Karena ini sangat sulit untuk teranalisis logika. Apalagi kalau bukan masalah hati. Ah, aku benci saja membahasnya. Andai saja perasaan itu seperti komputer yang memiliki tombol ‘delete’ yang kapan saja bisa aku tekan. Huh, tentu sudah dari dulu aku lakukan itu. Meskipun bias cahaya yang dia pantulkan lebih indah dari ‘me-ji-ku-hi-ni-bi-u’ yang seringkali aku tatap dari padang ilalangku dulu, tapi tetap saja kadar indah cahaya itu tidak pas hingga berdampak buruk untukku. Entah itu merusak mataku, iya seperti itulah kira-kira, tapi lebih anehnya malah merusak hatiku. Dia tak lebih dari sekedar bayangan semu yang hanya bisa menebar pesona di setiap pasang mata yang ada di dekatnya. Tanpa menjanjikan apa-apa. Semu, akan selamanya menjadi semu. Hingga kesemuan itulah yang akan menjadikannya selamanya semu. Tak akan pernah menjadi nyata.
Dulu, di padang ilalang itu aku sangat suka tertawa. Tertawa selepas-lepasnya seperti hidup ini adalah surga. Yang aku tau hanyalah berlari-larian bersama mereka sesuka hatiku. Tak ada beban apa-apa, tak ada pikiran apa-apa, bercerita apa saja dengan wajah polos dan lugu sembari menunggu senja. Indah sekali, bahkan membuat aku lupa bahwa seiring perputaran waktu itu jua yang mengantarkan aku hingga tumbuh dewasa. Tapi kini, di saat seperlima abad usiaku usai sudah kulewati, dengan hari-hari panjang yang sebenarnya singkat sekali. Diiringi cerita-cerita suka berbaurkan duka, aku jalani tanpa henti. Mengiringi putaran waktu menuju senja, dan menanti pagi. Menapaki siklus kehidupan yang berputar pada porosnya. Aku seperti tersentak dari mimpi indah yang cukup panjang. Banyak sekali hal-hal baru yang sepertinya tak kukenali, hingga kadang membuatku gamang dan hanya tegak terpaku seperti membeku. Sepertinya aku masih butuh waktu untuk menyusun strategi. Tapi tetap, semua itu begitu menjenuhkan.
Di padang ilalang itu aku suka sekali menatap jauh ke ujung sana, menikmati semilir angin yang membelai manja rambutku. Memandangi kawanan burung pipit yang menari-nari di pucuk pohon itu. Padang ilalang itu, seperti surga untuk aku dan teman-temanku. Berbeda seratus 180 derajat dengan saat ini. Saat bias semunya seakan mampu membiusku. Tak sekedar itu, bahkan telah mampu mengacaukanku. Masih kuingat dengan jelas, saat teman dekatku selalu bercerita tentang dia dan sebongkah perasaannya kepadaku. Dan aku, dengan segenap kepolosan dan keluguanku dengan mudahnya berbunga-berbunga. Merah jambu warnanya hatiku, saat dia dengan tersenyum lembut selalu menyapaku. Merah meronanya wajahku, saat dia dengan bangganya menyebut namaku, bahkan di depan teman-temanku. Begitu bodohnya aku. Dan tak tertahannya tangis ini, saat aku tau kalau ternyata aku hanya sekedar tempat persinggahan, saat lelah dengan apa yang ditujunya, saat jenuh dengan sesuatu yang ingin diraihnya. Dan kini, ketika lelah dan jenuh itu telah mampu aku hilangkan, dengan mudahnya ia pergi, dan akan mencari tempat persinggahan yang baru saat lelah dan jenuh kembali menghampiri.
Di padang ilalang ini, aku hampir menghabiskan masa kecilku. Di sana juga aku dan teman-teman selalu bercerita, dari pulang sekolah, hingga waktu senja tiba. Aku juga suka menatap mawar saat bersemi dengan indahnya. Meskipun mawar itu berduri, tapi tetap saja menarik, karena akan mempunyai kepuasan tersendiri bagi orang yang berhasil memetik mawar yang dahannya dipenuhi duri yang tajam itu. Tentu saja setiap orang yang ingin memetik mawar tersebut telah siap dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya nanti. Entah itu terluka oleh durinya, ataupun sekedar gores saja. Itu juga yang dulu sudah kuputuskan, membiarkan perasaan itu menari-nari indah dalam anganku. Mengizinkannya hingga menguasai separuh warasku. Hingga nelangsa yang kurasa saat semua hanya semu belaka. Tapi itulah konsekuensi yang harus kuterima.
Padang ilalang, yang selalu mampu mengusir lelahku dan teman-temanku dulu, yang selalu setia mendengar cerita-cerita kami, dan yang selalu bersedia menjadi tempat persinggahan kami, kurang lebih ternyata sama seperti aku. Tapi pernahkah dia membenciku? Saat kini kutemukan tempat-tempat baru di sini. Saat tak ada waktu lagi bagiku dan teman-temanku untuk sekedar menjenguknya kala aku pulang ke kampung halamanku. Saat aku sibuk dengan apa yang ingin kutuju, saat aku lengah dengan sesuatu yang hendak kuraih. Tidak, padang ialalangku tidak pernah membenciku. Bahkan dia akan tetap ada saat nanti (bahkan entah kapan) aku menyempatkan waktu lagi untuk menatap senja di sana. Dia akan tetap ada. Setidaknya aku bisa belajar dari padang ilalangku untuk tidak saling membenci, meski pun hanya sekedar tempat persinggahan, tapi tetap saja dia pernah menjejaki tempat itu. Terima kasih padang ilalangku, yang telah membuat aku sadar tentang banyak hal, bahwa kehidupan itu tentang bagaimana memberi dan juga menerima.
Untuk padang ilalangku, terima kasih untuk senja indahnya, terima kasih untuk semilir anginnya, terima kasih untuk kenangannya. Dan untuk kamu, terima kasih untuk bunga-bunga semu yang pernah kau tabur di hati ini, terima kasih untuk goresan lukanya, yang telah mampu mengajarkanku untuk lebih ikhlas dalam menerima. Kamu, dan padang ilalangku. Terima kasih.

Cerpen Negeri Para Pemimpi



Negeri Para Pemimpi
Oleh Restia Rahmi
Sekian lama terlelap dalam tidur  yang panjang, sampailah aku di sini, di negeri antah berantah. Penghuninya seperti tak kukenali, bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan pada diriku sendiri, di mana aku? Tapi tetap saja aku asing di tempat baru itu, “negeri antah berantah”.
Sekian lama terpaku dalam keraguan, akhirnya aku putuskan melanjutkan perjalanan. Mataku bergerilya menatap sekitar. Jalanan dengan kerikil tajam dipenuhi bebatuan yang kulalui. Jurang dalam di sisi kiri dan kanan melingkariku. Semua orang tampak bergegas dengan berjalan kaki. Mereka seperti tak menyadari keberadaanku, dan juga keberadaan sesama mereka. Mata mereka hanya terpaku dan terfokus pada satu titik,  jalanan terjal yang mesti mereka lalui, semua menatap ke depan. Hanya aku yang tercengang-cengang tak berketentuan, masih terpaku dalam kebingungan.
“Hey, ini dimana?” Kuberanikan mencegat seorang pejalan kaki yang kebetulan berlawanan arah denganku. Orang itu tersentak kaget. “Ini negeri awan tuan”, kata lelaki itu menjawab dingin dan kembali bergegas melanjutkan perjalanan. Ia berjalan cepat sekali, seperti dikejar bom waktu. Aku pun kembali tertegun memandangi dari tempatku berdiri, semakin tidak mengerti. Lelaki itu semakin lama semakin jauh, lalu menghilang di kejauhan.
Kembali lama terdiam, aku putuskan melanjutkan perjalanan, beringsut. Langkah demi langkah kulewati kerikil tajam dan bebatuan yang membuat langkahku semakin lamban.  Tiba-tiba kulihat dua orang bapak tua sedang duduk-duduk santai di bawah pohon nan rindang. Aku pun menghentikan langkah dan menuju ke arah dua orang bapak tua tersebut. “Permisi pak, maaf mengganggu.” Aku beranikan menyapa dengan sedikit kalimat basa-basi yang kurangkai sebisaku. Namun, bukannya menyambut ramah, kedatanganku malah dijamu dengan tatapan aneh dari empat pasang mata tersebut. Dengan gerak gerik yang semakin kaku aku kembali beranikan diri bersuara, “Maaf pak, kalau boleh tau ini dimana?” bertanya lagi-lagi dengan kalimat yang kurangkai semampuku. “Sudah kuduga kalau kau bukan orang sini anak muda”, seorang bapak yang berperawakan lebih kurus menjawab dingin. “Dari gerak-geriknya saja sudah bisa ditebak”, bapak tua yang satu lagi menambahkan. Aku semakin bingung dengan daerah ini, orang-orang yang aneh, dan bentuk daerahnya juga sangat aneh. Aku pun berpikir keras, mengapa aku bisa sampai ke tempat ini. “ Ini negeri awan, tempat para pemimpi menggantungkan mimpi-mimpi mereka”, kata bapak tua yang agak kurus tadi. “Iya benar sekali, ini negeri awan, tempat para pemimpi melabuhkan harapan mereka”, kata bapak tua yang satu lagi melanjutkan.
Aku putuskan terus berjalan. Penjelasan dari dua orang bapak tua tadi sedikit melegakan. Meskipun tetap tak temukan jawaban, tapi setidaknya aku tau tempatku berada, “Negeri Awan”. Semakin lama aku berjalan, semakin lelah dan letih kurasakan. Perjalanan ini terasa begitu jauh, begitu panjang, seperti tiada ujung. Jalanan mendaki, menurun, tikungan tajam, batu-batu runcing, jurang-jurang yang mencekam tak hentinya aku temui. Meski lamban, tapi tetap kupaksakan, berharap perjalanan ini menemukan ujung.
“Ini negeri awan, tempat para pemimpi menggantungkan mimpi-mimpi mereka, melabuhkan harapan-harapan mereka”, kata-kata dua orang bapak tua tadi seperti terngiang-ngiang di telingaku. Nafasku terengah, semua persendianku sakit, dan lelah yang teramat sangat kurasakan. Akhirnya aku terlelap di sana, di bawah sebuah pohon yang terletak di pinggir sungai. Di belai manja semilir angin sepoi, didendangkan nyanyian kicau burung nan menyatu dengan gemericik air sungai yang mengalir deras. Aku benar-benar kelelahan, hingga tertidur pulas.
Entah berapa lama aku tidur di tempat itu, di sebuah pohon, di tepi sungai, di negeri antah berantah, negeri para pemimpi. Tapi aku begitu kaget, saat terbangun aku kembali ke tempatku semula. Sebuah tempat yang sangat kukenali. Masih dalam keadaan mengantuk karena baru saja terbangun dari tidurku yang lelap, ternyata aku baru sadar ternyata ada seorang perempuan yang berumur sekitar dua puluhan yang duduk sambil menangis tak jauh dari tempatku. “Mengapa kau menangis?” Aku menyapa gadis itu. Dengan nafas tercekat karena tangis yang sengaja ditahannya ia menjawab, “Aku benci hidupku, kenapa aku harus dilahirkan dari orang tua yang miskin, tak berpendidikan?” Gadis itu menjawab sinis sambil sesekali terisak karena sedari tadi menangis. “Ssst...tidak boleh kau bilang begitu, semua itu sudah takdirnya. Walaubagaimanapun mereka adalah orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, yang membiayai hidupmu dari kecil.” Gadis itu menatap tajam ke arahku, “Heh, ternyata kau sama saja seperti orang-orang kebanyakan, sama saja seperti mereka, selalu saja membicarakan takdir. Tahukah kau kalau aku benci mendengarnya?” Gadis itu melontarkan kata-kata itu dengan nada yang tidak bersahabat. “Aku benci bila harus hidup miskin”, gadis itu melanjutkan.
Aku kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Perjalanan jauh ke negeri antah berantah begitu menguras tenagaku. Sehari setelah bertemu seorang gadis yang mengaku sangat benci membicarakan takdir itu, aku bertemu lagi dengan seorang lelaki yang hampir sebaya dengan gadis kemarin. Laki-laki itu tampak kehilangan separuh warasnya. Duduk tertegun di pinggir sungai di ujung desa. Melempar-lemparkan kerikil yang sengaja dikumpulkannya di jalanan saat menuju pinggir sungai tersebut. ia tampak lunglai sekali dan tidak bersemangat. Aku lagi-lagi mencoba bertanya, “Ada apa gerangan kau tampak murung sekali kawan?” laki-laki itu pun menatap kosong ke arah sungai dan menjawab dengan sangat lemah sekali. “Aku benci hidupku, seorang gadis yang sangat kucintai menghianatiku, ia memilih untuk menikah dengan laki-laki lain. Aku seperti tak ingin hidup lagi.” Lelaki tersebut menjelaskan dengan nada frustasi yang sangat jelas terlihat. Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan lelaki itu, sambil terbayang negeri para pemimpi yang sempat kukunjungi.  Negeriku, berbeda jauh dengan negeri para pemimpi tersebut. Di sana, semua orang  bergerak cepat, bergegas seperti tak mau ketinggalan. Meski dengan berjalan kaki dan melintasi medan yang sangat berbahaya, tapi mereka tak kehilangan semangat. Mereka tetap bertekad untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka dan meraih harapan-harapan mereka. Semua orang bergerak cepat, tak ada yang lamban. Mereka berjalan dengan sungguh-sungguh. Bahkan aku seperti malu dengan diriku sendiri saat berada di sana. Hanya aku yang tercengang-cengang dan bergerak lamban. Tapi di sini, di negeriku, malah sebaliknya. Semua orang sibuk mengurusi urusan-urusan yang tak penting, sibuk meratapi dan menyesali kedaan mereka tanpa mncari jalan untuk merubahnya menjadi lebih baik. Di sini, di negeriku, semua orang sibuk mengeluh, sibuk mengurusi urusan orang lain yang sebenarnya tidak patut untuk mereka urus. Saling menjatuhkan satu sama lain, menyibukkan diri dengan urusan perasaan dan berlarut-larut di dalamnya. Itulah negeriku, berbanding terbalik dengan negeri para pemimpi yang pernah kukunjungi.
Aku seperti ingin kembali ke negeri itu, negeri para pemimpi. Menyatu bersama mereka untuk meraih mimpi, melabuhkan harapan-harapan yang sejak dulu kurangkai. Tapi aku seperti tersesat di sini. Di negeriku sendiri. Aku hanya berharap bisa kembali menginjakkan kaki di tempat itu, negeri para pemimpi.