Senja beringsut datang. Angin mendesau mencipta irama tersendiri bagi
liukan ilalang yang berjejer di sepanjang pematang sawah itu. Matahari
tampak menguning sembari besembunyi ke pangkuan malam. Memberi isyarat
pada kawanan kelelawar bahwa ini saatnya mencari makan. Seolah berada
dalam sebuah kompetisi, mereka seakan berlomba untuk terbang paling
tinggi. Puluhan itik pun berderet rapih di sepanjang pematang untuk
pulang ke kandang. Perpaduan senja yang sempurna, senja yang menawan.
Senja di antara pematang sawah, di sebuah pinggiran desa.
Desa
Tarok, yang terletak di sebuah kabupaten yang tak jauh dari kota
Payakumbuh adalah tempat anak lelaki itu dilahirkan. Meski terlahir dan
dibesarkan di tengah keluarga yang kurang beruntung, tak lantas
membuatnya patah semangat. Embun namanya, sedikit kurus dan tidak
terbilang tinggi untuk bocah seumurannya. Sawo matang kulitnya agak
terbungkus oleh bekas-bekas luka dan balutan lunau sawah yang setiap
hari digelutinya. Subuh-subuh sekali ia sudah pergi ke sawah yang
berjarak sekitar tiga kilometer dari rumahnya. sebuah bangunan yang
berdinding anyaman bambu, berlantaikan tanah, dan beratapkan rumbio
itulah tempat ia, Apak, dan Amaknya beristirahat setelah seharian menghabiskan waktu di sawah-sawah tetangga yang sedang butuh tenaga mereka.
Subuh
ini seperti biasa Embun sudah bangun untuk memulai aktivitasnya. Ia
memang seorang anak yang rajin, tau diri, dan juga tak pernah
meninggalkan shalat seperti yang diajarkan Apak semenjak embun
masih berumur lima tahun. Pernah suatu ketika Embun lupa untuk shalat
Ashar karena terlalu asyik bermain dengan kambing-kambing gembalaannya.
Waktu itu sudah jam enam sore. Apak yang baru keluar dari sawah
dan masih berbalut lumpur itu menyadari kalau anak lelakinya yang telah
diingatkan untuk shalat sedari tadi masih keasyikan berlarian sambil
sesekali tergelak melihat ulah kambing-kambing gembalaannya. Apak sangat marah melihat hal itu. Sebab urusan shalat itu bukan main-main, begitulah yang selalu diajarkan Apak kepada Embun. Dengan bergegas Apak
mencari lidi daun enau yang terletak tidak jauh dari sawah tersebut dan
melecutkan sampai kaki kiri Embun tampak memerah. Embun menangis
kesakitan sambil meminta ampun dan berjanji tidak akan mengulanginya.
Semenjak saat itu ia sangat jera dan tidak pernah mau meninggalkan
shalat lima waktu.
Setelah shalat subuh, Embun bergegas ke kandang
kambing yang berjarak sekitar sepuluh meter di belakang rumahnya.
Seperti berpacu dengan mentari, ia dengan cepat menggiring
kambing-kambing itu ke sawah untuk mencari makan. Kambing yang berjumlah
sekitar sepuluh ekor itu sebenarnya bukan miliknya. Ia hanya dipercayai
oleh Pak Mansur, seorang guru SMP di desa itu. Setelah mengikatkan
beberapa utas tali ke pohon cubadak (nangka), dan memastikan
kambing-kambing itu telah melahap rumput-rumput hijau ia kembali ke
rumahnya untuk mandi dan bersiap-siap untuk ke sekolah. Ketika sore
menjelang, sehabis Ashar ia kembali ke sawah tersebut untuk menyabitkan
beberapa karung rumput sebagai cadangan untuk makanan
kambing-kambingnya. Hal itulah yang setiap hari dilakukannya tanpa
bosan, dan jenuh. Supaya tetap bisa bersekolah, supaya nanti bisa
kuliah, sebuah cita-cita yang terlalu tinggi, seperti kata
teman-temannya sesama anak petani miskin di kampungnya.
* * *
“Apa ang tidak ke sawah, Nak? Bukannya ini sudah kesiangan, sebentar lagi terang, kambing-kambing ang harus makan, dan nanti ang juga harus berangkat sekolah”, kata ibu dengan lembut melihat anak bujang-nya yang masih bermenung di bangku-bangku depan rumahnya dengan kain sarung yang disandangnya di leher.
“Aden maleh, Mak. Rasanya sudah capek jadi penggembala terus. Kenapa yah Mak kita tidak bisa seperti tetangga yang lain. Si Riko contohnya, Amaknya hanya seorang guru honor TK, Apaknya mondar-mandir saja sepanjang kampung mengurusi bisnis BT (togel) nya dari lapau ke lapau, tapi ia tetap bisa bersekolah tanpa harus menggembala seperti waden. Si Anas, Riska, Tanti pun begitu. Apaknya hanya pembuat tuak, tapi kenapa tetap bisa ke sekolah dengan baju bagus, sepatu keren, dan juga membawa hp Mak?” sedangkan aden setiap hari sudah capek mengurusi kambing-kambing itu tapi tak juga jadi beruntung seperti mereka.”
Amak yang sedari tadi dengan serius mendengarkan keluhan anak bujangnya itu tersenyum lembut penuh arti. “Sekarang amak mau bertanya, sudah kelas berapa waang sekarang, Nak?”
“Kelas enam, Mak”, kata embun dengan sopan.
“Kalau begitu, sebentar lagi waang akan melanjutkan sekolah ke tingkat SMP. Apa waang tetap mau kuliah dan menjadi sarjana seperti uda Zein, anak Pak Mansur?”
“Iya, Mak, tentu saja.”
“Untuk bisa meraihnya, tentu tak bisa hanya dengan main-main, Nak.” Sama seperti prestasi-prestasi yang selalu ang raih di sekolah. Kalau ang main-main dan tidak sungguh-sungguh belajar, apa bisa selalu menjadi bintang kelas?”
Perempuan
itu menjelaskan dengan pancaran wajah yang penuh kasih sayang kepada
anaknya. Begitulah amak, ia perempuan tersabar yang selalu mengajarkan
tentang kelembutan seorang ibu, mengajarkan arti dari usaha dan doa,
menurutnya, hidup ini bukan tentang keberuntungan, akan tetapi tentang
seberapa besar kerja keras. Hal itulah yang selalu diyakini Amak sejak dulu, sehingga ia tak pernah menyerah, ia tak pernah putus asa dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Sudah beberapa pagi berlalu setelah Embun banyak merenung dan kurang bersemangat mengurusi kambing-kambingnya. Tapi Amak, bak
embun penyejuk di kala kehausan, bagai kunang-kunang di pekatnya malam,
dengan limpahan cinta yang tiada tara selalu berhasil memacu semangat
Embun untuk tetap semangat meraih cita. Begitu pun dengan Apak,
beliau sosok dingin yang tetap idola di mata anak-anaknya. Sorot tajam
matanya, satu kalimat meluncur dari mulutnya, semua gerak-geriknya
menjadi bermakna di mata Embun, kedua adiknya, dan tentu juga di mata Amak
yang selalu menyayangi dan menghormati suaminya. Begitulah keluarga
mereka, sebuah keluarga yang serba kekurangan dari segi materi akan
tetapi selalu mengimbangi kekurangan-kekurangan itu dengan cinta.
* * *
Senja
menjelang pasti, panas terik sehari ini membuat letih para petani yang
berjerih demi mendapatkan sesuap nasi untuk anak-anak mereka, untuk
melanjutkan hidup. Embun yang tampak kelelahan kerena memang setiap hari
berjalan kaki dengan sepatu yang sudah bolong di tumitnya itu tertidur
pulas di dangau-dangau sawah tempat ia biasa mengikatkan
kambing-kambingnya. Tiupan angin sepoi yang membelai lembut tubuhnya
terasa hangat serasa pelukan Amak yang dapat mengusir
lelahnya. Akan tetapi, tidur nyenyak itu dibangunkan oleh suara kambing
yang membebek tak karuan. Embun tersentak dan langsung menuju ke dekat
pohon cubadak tempat ia mengikatkan kambing-kambing itu. Ia
sangat kaget ketika sampai di sana, delapan kambingnya raib entah
kemana. Hanya tinggal tali-tali pengikat dan dua ekor kambing yang
tengah membebek dan berusaha melepaskan ikatannya. Embun terlihat sangat
panik, ia berlari-lari ke sepanjang pematang, sampai ke parak jagung
di sebelah atas sawah tersebut, tapi tetap tak membuahkan hasil. Ia
sangat cemas, dengan apa ia akan membayar kerugian kepada Pak Mansur
karena kehilangan delapan ekor kambing-kambing itu. Jangankan untuk
mengganti rugi seharga kambing-kambing itu, uang ujian semester satu
yang akan dilaksanakan lusa saja masih belum ada. Apak menjanjikan akan
mengakalinya kepada pak Mansur, tentu saja atas nama hutang dan akan
dipotong dari gaji hasil gembalaan Embun yang diterima nanti setelah
pembagian hasil penjualan kambing-kambing tersebut.
“Tadi aden Cuma tertidur sebentar, Mak. Tapi setelah bangun kambing-kambing itu sudah tak ada.”
“lalu
kemana kambing-kambing itu, Nak? Dengan apa kita akan ganti kepada pak
Mansur delapan ekor kambing tersebut”, kata amak yang belum pernah
terlihat sepanik ini.
“Sudah, tak ada gunanya menyesali di sini.
Lebih baik sekarang kita berpencar mencari kambing-kambing yang hilang
itu”, kata bapak menenangkan Embun dan amak yang tampak sangat panik itu.
Mereka pun berpencar untuk mencari kambing-kambing yang hilang. Amak mencari ke arah utara sampai ke desa sebelah, Embun mencari ke arah belakang rumahnya, dan Apak kembali ke sawah tempat Embun menggembalai kambing tersebut. Matahari benar-benar telah kembali ke peraduan. Hari sudah gelap, Apak kembali ke rumah dengan tangan kosong, begitu juga dengan Amak
dan Embun, dua kambing sisa dari kambing yang hilang yang diikatkan di
pohon depan rumah tampak membebek panjang dan terlihat tak sabar untuk
kembali ke kandang. Akhirnya apak menagajak mereka untuk shalat magrib
berjamaaah dulu. Nanti mereka akali bagaimana cara menjelaskan kepada
pak Mansur.
“Jangan lupa berdoa kepada yang di atas, Nak. Hanya
Dia yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Mintalah petunjuk dan
jalan keluar atas masalah dan kesulitan yang kita alami ini”, kata amak
yang tampak sedikit lebih tenang setelah shalat magrib tadi.
Embun
menggiring dua ekor kambing yang masih ada tadi ke kandang dengan
membawa sebuah senter untuk pencahayaan karena hari sudah sangat gelap.
Tapi beberapa meter dari arah kandang cahaya senternya tertuju kepada
beberapa binatang yang tampak kaget karena kedatangannya. Ia baru
menyadari bahwa ternyata kambing-kambingnya yang hilang telah ada di
sekitar kandang tersebut. Embun bersorak gembira dan segera
memberitahukan kepada Apak danAmak.
Begitulah sesosok Embun kecil yang selalu diajarkan Apak dan Amak
untuk selalu bekerja keras jika ingin memperoleh sesuatu. Ia banyak
belajar dari kesusahan hidup dan dari kesulitan-kesulitan dan ujian
hidup yang berat untuk anak seusianya. Akan tetapi, hal itulah yang
membuatnya makin tegar dalam setiap masalah-masalah yang dihadapi. Dari
sinilah cerita ini bermula, Embun, seorang penggembala kambing yang
berjuang keras demi melanjutkan hidup dan demi sebuah gelar sarjana.