Jumat, 15 Maret 2013

Cerpen Negeri Para Pemimpi



Negeri Para Pemimpi
Oleh Restia Rahmi
Sekian lama terlelap dalam tidur  yang panjang, sampailah aku di sini, di negeri antah berantah. Penghuninya seperti tak kukenali, bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan pada diriku sendiri, di mana aku? Tapi tetap saja aku asing di tempat baru itu, “negeri antah berantah”.
Sekian lama terpaku dalam keraguan, akhirnya aku putuskan melanjutkan perjalanan. Mataku bergerilya menatap sekitar. Jalanan dengan kerikil tajam dipenuhi bebatuan yang kulalui. Jurang dalam di sisi kiri dan kanan melingkariku. Semua orang tampak bergegas dengan berjalan kaki. Mereka seperti tak menyadari keberadaanku, dan juga keberadaan sesama mereka. Mata mereka hanya terpaku dan terfokus pada satu titik,  jalanan terjal yang mesti mereka lalui, semua menatap ke depan. Hanya aku yang tercengang-cengang tak berketentuan, masih terpaku dalam kebingungan.
“Hey, ini dimana?” Kuberanikan mencegat seorang pejalan kaki yang kebetulan berlawanan arah denganku. Orang itu tersentak kaget. “Ini negeri awan tuan”, kata lelaki itu menjawab dingin dan kembali bergegas melanjutkan perjalanan. Ia berjalan cepat sekali, seperti dikejar bom waktu. Aku pun kembali tertegun memandangi dari tempatku berdiri, semakin tidak mengerti. Lelaki itu semakin lama semakin jauh, lalu menghilang di kejauhan.
Kembali lama terdiam, aku putuskan melanjutkan perjalanan, beringsut. Langkah demi langkah kulewati kerikil tajam dan bebatuan yang membuat langkahku semakin lamban.  Tiba-tiba kulihat dua orang bapak tua sedang duduk-duduk santai di bawah pohon nan rindang. Aku pun menghentikan langkah dan menuju ke arah dua orang bapak tua tersebut. “Permisi pak, maaf mengganggu.” Aku beranikan menyapa dengan sedikit kalimat basa-basi yang kurangkai sebisaku. Namun, bukannya menyambut ramah, kedatanganku malah dijamu dengan tatapan aneh dari empat pasang mata tersebut. Dengan gerak gerik yang semakin kaku aku kembali beranikan diri bersuara, “Maaf pak, kalau boleh tau ini dimana?” bertanya lagi-lagi dengan kalimat yang kurangkai semampuku. “Sudah kuduga kalau kau bukan orang sini anak muda”, seorang bapak yang berperawakan lebih kurus menjawab dingin. “Dari gerak-geriknya saja sudah bisa ditebak”, bapak tua yang satu lagi menambahkan. Aku semakin bingung dengan daerah ini, orang-orang yang aneh, dan bentuk daerahnya juga sangat aneh. Aku pun berpikir keras, mengapa aku bisa sampai ke tempat ini. “ Ini negeri awan, tempat para pemimpi menggantungkan mimpi-mimpi mereka”, kata bapak tua yang agak kurus tadi. “Iya benar sekali, ini negeri awan, tempat para pemimpi melabuhkan harapan mereka”, kata bapak tua yang satu lagi melanjutkan.
Aku putuskan terus berjalan. Penjelasan dari dua orang bapak tua tadi sedikit melegakan. Meskipun tetap tak temukan jawaban, tapi setidaknya aku tau tempatku berada, “Negeri Awan”. Semakin lama aku berjalan, semakin lelah dan letih kurasakan. Perjalanan ini terasa begitu jauh, begitu panjang, seperti tiada ujung. Jalanan mendaki, menurun, tikungan tajam, batu-batu runcing, jurang-jurang yang mencekam tak hentinya aku temui. Meski lamban, tapi tetap kupaksakan, berharap perjalanan ini menemukan ujung.
“Ini negeri awan, tempat para pemimpi menggantungkan mimpi-mimpi mereka, melabuhkan harapan-harapan mereka”, kata-kata dua orang bapak tua tadi seperti terngiang-ngiang di telingaku. Nafasku terengah, semua persendianku sakit, dan lelah yang teramat sangat kurasakan. Akhirnya aku terlelap di sana, di bawah sebuah pohon yang terletak di pinggir sungai. Di belai manja semilir angin sepoi, didendangkan nyanyian kicau burung nan menyatu dengan gemericik air sungai yang mengalir deras. Aku benar-benar kelelahan, hingga tertidur pulas.
Entah berapa lama aku tidur di tempat itu, di sebuah pohon, di tepi sungai, di negeri antah berantah, negeri para pemimpi. Tapi aku begitu kaget, saat terbangun aku kembali ke tempatku semula. Sebuah tempat yang sangat kukenali. Masih dalam keadaan mengantuk karena baru saja terbangun dari tidurku yang lelap, ternyata aku baru sadar ternyata ada seorang perempuan yang berumur sekitar dua puluhan yang duduk sambil menangis tak jauh dari tempatku. “Mengapa kau menangis?” Aku menyapa gadis itu. Dengan nafas tercekat karena tangis yang sengaja ditahannya ia menjawab, “Aku benci hidupku, kenapa aku harus dilahirkan dari orang tua yang miskin, tak berpendidikan?” Gadis itu menjawab sinis sambil sesekali terisak karena sedari tadi menangis. “Ssst...tidak boleh kau bilang begitu, semua itu sudah takdirnya. Walaubagaimanapun mereka adalah orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, yang membiayai hidupmu dari kecil.” Gadis itu menatap tajam ke arahku, “Heh, ternyata kau sama saja seperti orang-orang kebanyakan, sama saja seperti mereka, selalu saja membicarakan takdir. Tahukah kau kalau aku benci mendengarnya?” Gadis itu melontarkan kata-kata itu dengan nada yang tidak bersahabat. “Aku benci bila harus hidup miskin”, gadis itu melanjutkan.
Aku kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Perjalanan jauh ke negeri antah berantah begitu menguras tenagaku. Sehari setelah bertemu seorang gadis yang mengaku sangat benci membicarakan takdir itu, aku bertemu lagi dengan seorang lelaki yang hampir sebaya dengan gadis kemarin. Laki-laki itu tampak kehilangan separuh warasnya. Duduk tertegun di pinggir sungai di ujung desa. Melempar-lemparkan kerikil yang sengaja dikumpulkannya di jalanan saat menuju pinggir sungai tersebut. ia tampak lunglai sekali dan tidak bersemangat. Aku lagi-lagi mencoba bertanya, “Ada apa gerangan kau tampak murung sekali kawan?” laki-laki itu pun menatap kosong ke arah sungai dan menjawab dengan sangat lemah sekali. “Aku benci hidupku, seorang gadis yang sangat kucintai menghianatiku, ia memilih untuk menikah dengan laki-laki lain. Aku seperti tak ingin hidup lagi.” Lelaki tersebut menjelaskan dengan nada frustasi yang sangat jelas terlihat. Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan lelaki itu, sambil terbayang negeri para pemimpi yang sempat kukunjungi.  Negeriku, berbeda jauh dengan negeri para pemimpi tersebut. Di sana, semua orang  bergerak cepat, bergegas seperti tak mau ketinggalan. Meski dengan berjalan kaki dan melintasi medan yang sangat berbahaya, tapi mereka tak kehilangan semangat. Mereka tetap bertekad untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka dan meraih harapan-harapan mereka. Semua orang bergerak cepat, tak ada yang lamban. Mereka berjalan dengan sungguh-sungguh. Bahkan aku seperti malu dengan diriku sendiri saat berada di sana. Hanya aku yang tercengang-cengang dan bergerak lamban. Tapi di sini, di negeriku, malah sebaliknya. Semua orang sibuk mengurusi urusan-urusan yang tak penting, sibuk meratapi dan menyesali kedaan mereka tanpa mncari jalan untuk merubahnya menjadi lebih baik. Di sini, di negeriku, semua orang sibuk mengeluh, sibuk mengurusi urusan orang lain yang sebenarnya tidak patut untuk mereka urus. Saling menjatuhkan satu sama lain, menyibukkan diri dengan urusan perasaan dan berlarut-larut di dalamnya. Itulah negeriku, berbanding terbalik dengan negeri para pemimpi yang pernah kukunjungi.
Aku seperti ingin kembali ke negeri itu, negeri para pemimpi. Menyatu bersama mereka untuk meraih mimpi, melabuhkan harapan-harapan yang sejak dulu kurangkai. Tapi aku seperti tersesat di sini. Di negeriku sendiri. Aku hanya berharap bisa kembali menginjakkan kaki di tempat itu, negeri para pemimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar