Negeri
Para Pemimpi
Oleh
Restia Rahmi
Sekian
lama terlelap dalam tidur yang panjang,
sampailah aku di sini, di negeri antah berantah. Penghuninya seperti tak
kukenali, bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan pada diriku sendiri, di mana aku?
Tapi tetap saja aku asing di tempat baru itu, “negeri antah berantah”.
Sekian
lama terpaku dalam keraguan, akhirnya aku putuskan melanjutkan perjalanan. Mataku
bergerilya menatap sekitar. Jalanan dengan kerikil tajam dipenuhi bebatuan yang
kulalui. Jurang dalam di sisi kiri dan kanan melingkariku. Semua orang tampak
bergegas dengan berjalan kaki. Mereka seperti tak menyadari keberadaanku, dan
juga keberadaan sesama mereka. Mata mereka hanya terpaku dan terfokus pada satu
titik, jalanan terjal yang mesti mereka
lalui, semua menatap ke depan. Hanya aku yang tercengang-cengang tak
berketentuan, masih terpaku dalam kebingungan.
“Hey,
ini dimana?” Kuberanikan mencegat seorang pejalan kaki yang kebetulan
berlawanan arah denganku. Orang itu tersentak kaget. “Ini negeri awan tuan”, kata
lelaki itu menjawab dingin dan kembali bergegas melanjutkan perjalanan. Ia berjalan
cepat sekali, seperti dikejar bom waktu. Aku pun kembali tertegun memandangi
dari tempatku berdiri, semakin tidak mengerti. Lelaki itu semakin lama semakin
jauh, lalu menghilang di kejauhan.
Kembali
lama terdiam, aku putuskan melanjutkan perjalanan, beringsut. Langkah demi
langkah kulewati kerikil tajam dan bebatuan yang membuat langkahku semakin
lamban. Tiba-tiba kulihat dua orang
bapak tua sedang duduk-duduk santai di bawah pohon nan rindang. Aku pun
menghentikan langkah dan menuju ke arah dua orang bapak tua tersebut. “Permisi
pak, maaf mengganggu.” Aku beranikan menyapa dengan sedikit kalimat basa-basi
yang kurangkai sebisaku. Namun, bukannya menyambut ramah, kedatanganku malah
dijamu dengan tatapan aneh dari empat pasang mata tersebut. Dengan gerak gerik
yang semakin kaku aku kembali beranikan diri bersuara, “Maaf pak, kalau boleh
tau ini dimana?” bertanya lagi-lagi dengan kalimat yang kurangkai semampuku. “Sudah
kuduga kalau kau bukan orang sini anak muda”, seorang bapak yang berperawakan
lebih kurus menjawab dingin. “Dari gerak-geriknya saja sudah bisa ditebak”,
bapak tua yang satu lagi menambahkan. Aku semakin bingung dengan daerah ini,
orang-orang yang aneh, dan bentuk daerahnya juga sangat aneh. Aku pun berpikir
keras, mengapa aku bisa sampai ke tempat ini. “ Ini negeri awan, tempat para
pemimpi menggantungkan mimpi-mimpi mereka”, kata bapak tua yang agak kurus
tadi. “Iya benar sekali, ini negeri awan, tempat para pemimpi melabuhkan
harapan mereka”, kata bapak tua yang satu lagi melanjutkan.
Aku
putuskan terus berjalan. Penjelasan dari dua orang bapak tua tadi sedikit
melegakan. Meskipun tetap tak temukan jawaban, tapi setidaknya aku tau tempatku
berada, “Negeri Awan”. Semakin lama aku berjalan, semakin lelah dan letih
kurasakan. Perjalanan ini terasa begitu jauh, begitu panjang, seperti tiada
ujung. Jalanan mendaki, menurun, tikungan tajam, batu-batu runcing,
jurang-jurang yang mencekam tak hentinya aku temui. Meski lamban, tapi tetap
kupaksakan, berharap perjalanan ini menemukan ujung.
“Ini
negeri awan, tempat para pemimpi menggantungkan mimpi-mimpi mereka, melabuhkan
harapan-harapan mereka”, kata-kata dua orang bapak tua tadi seperti
terngiang-ngiang di telingaku. Nafasku terengah, semua persendianku sakit, dan
lelah yang teramat sangat kurasakan. Akhirnya aku terlelap di sana, di bawah
sebuah pohon yang terletak di pinggir sungai. Di belai manja semilir angin
sepoi, didendangkan nyanyian kicau burung nan menyatu dengan gemericik air
sungai yang mengalir deras. Aku benar-benar kelelahan, hingga tertidur pulas.
Entah
berapa lama aku tidur di tempat itu, di sebuah pohon, di tepi sungai, di negeri
antah berantah, negeri para pemimpi. Tapi aku begitu kaget, saat terbangun aku
kembali ke tempatku semula. Sebuah tempat yang sangat kukenali. Masih dalam
keadaan mengantuk karena baru saja terbangun dari tidurku yang lelap, ternyata
aku baru sadar ternyata ada seorang perempuan yang berumur sekitar dua puluhan
yang duduk sambil menangis tak jauh dari tempatku. “Mengapa kau menangis?” Aku
menyapa gadis itu. Dengan nafas tercekat karena tangis yang sengaja ditahannya
ia menjawab, “Aku benci hidupku, kenapa aku harus dilahirkan dari orang tua
yang miskin, tak berpendidikan?” Gadis itu menjawab sinis sambil sesekali
terisak karena sedari tadi menangis. “Ssst...tidak boleh kau bilang begitu,
semua itu sudah takdirnya. Walaubagaimanapun mereka adalah orang tua yang telah
melahirkan dan membesarkanmu, yang membiayai hidupmu dari kecil.” Gadis itu
menatap tajam ke arahku, “Heh, ternyata kau sama saja seperti orang-orang
kebanyakan, sama saja seperti mereka, selalu saja membicarakan takdir. Tahukah kau
kalau aku benci mendengarnya?” Gadis itu melontarkan kata-kata itu dengan nada
yang tidak bersahabat. “Aku benci bila harus hidup miskin”, gadis itu
melanjutkan.
Aku
kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Perjalanan jauh ke negeri antah
berantah begitu menguras tenagaku. Sehari setelah bertemu seorang gadis yang
mengaku sangat benci membicarakan takdir itu, aku bertemu lagi dengan seorang
lelaki yang hampir sebaya dengan gadis kemarin. Laki-laki itu tampak kehilangan
separuh warasnya. Duduk tertegun di pinggir sungai di ujung desa. Melempar-lemparkan
kerikil yang sengaja dikumpulkannya di jalanan saat menuju pinggir sungai
tersebut. ia tampak lunglai sekali dan tidak bersemangat. Aku lagi-lagi mencoba
bertanya, “Ada apa gerangan kau tampak murung sekali kawan?” laki-laki itu pun
menatap kosong ke arah sungai dan menjawab dengan sangat lemah sekali. “Aku
benci hidupku, seorang gadis yang sangat kucintai menghianatiku, ia memilih
untuk menikah dengan laki-laki lain. Aku seperti tak ingin hidup lagi.” Lelaki tersebut
menjelaskan dengan nada frustasi yang sangat jelas terlihat. Aku hanya
manggut-manggut mendengar penjelasan lelaki itu, sambil terbayang negeri para
pemimpi yang sempat kukunjungi. Negeriku,
berbeda jauh dengan negeri para pemimpi tersebut. Di sana, semua orang bergerak cepat, bergegas seperti tak mau
ketinggalan. Meski dengan berjalan kaki dan melintasi medan yang sangat
berbahaya, tapi mereka tak kehilangan semangat. Mereka tetap bertekad untuk
mewujudkan mimpi-mimpi mereka dan meraih harapan-harapan mereka. Semua orang
bergerak cepat, tak ada yang lamban. Mereka berjalan dengan sungguh-sungguh. Bahkan
aku seperti malu dengan diriku sendiri saat berada di sana. Hanya aku yang
tercengang-cengang dan bergerak lamban. Tapi di sini, di negeriku, malah
sebaliknya. Semua orang sibuk mengurusi urusan-urusan yang tak penting, sibuk
meratapi dan menyesali kedaan mereka tanpa mncari jalan untuk merubahnya
menjadi lebih baik. Di sini, di negeriku, semua orang sibuk mengeluh, sibuk
mengurusi urusan orang lain yang sebenarnya tidak patut untuk mereka urus. Saling
menjatuhkan satu sama lain, menyibukkan diri dengan urusan perasaan dan
berlarut-larut di dalamnya. Itulah negeriku, berbanding terbalik dengan negeri
para pemimpi yang pernah kukunjungi.
Aku
seperti ingin kembali ke negeri itu, negeri para pemimpi. Menyatu bersama
mereka untuk meraih mimpi, melabuhkan harapan-harapan yang sejak dulu
kurangkai. Tapi aku seperti tersesat di sini. Di negeriku sendiri. Aku hanya
berharap bisa kembali menginjakkan kaki di tempat itu, negeri para pemimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar