Padang Ilalang
Oleh: Restia Rahmi
Barangkali
karena panas yang terlalu menyengat, hingga terpantul dari bentangan aspal jalanan mana saja di
kota ini. Barangkali karena pepohonan hijau yang semakin terancam punah, hingga
gerah berkepanjangan tak kuasa lagi kuhindari. Aku? Mungkin tak hanya aku, tapi
juga seluruh penghuni kota ini. Panas dan gerah, tentu hal itulah yang menjadi
alasan utama bagiku untuk memilih bertapa di ruangan kecil, kamar kostku. Maret
yang begitu gersang, membuat pikiranku menerawang dan hinggap pada kenangan
panjang masa kecilku. Dulu, di hamparan tanah bertumbuhkan ilalang itu aku acap
kali bermain. Berkejar-kejaran dengan teman-teman masa kecilku. Berlarian di
sepanjang padang ilalang, hingga senja menjelang. Tapi senja pun tak jua membuat
kami ingin pulang. Aku lebih suka memilih senja di padang ilalang itu. Entah
mengapa, kurasa indah saja. Aku bisa merasakan semilir angin yang berhembus
dengan lembutnya. Aku lebih suka duduk dan memandang jauh ke ujung hamparan
ilalang itu, saat senja menjelang. Saat letih menyapa setelah hampir setengah
hari berlarian kesana kemari. Aku lebih memilih diam, saat teman-temanku yang
lain masih bercerita dengan semangatnya. Tentang pertandingan bola antar
kampung yang dua minggu lagi akan diadakan, bertepatan dengan liburan semester.
Tentang kejadian-kejadian lucu di sekolah tadi, tentang teman-teman MDA yang
usil, tentang apa saja. Tapi bagiku, senja itu lebih menarik untuk dinikmati,
lebih indah untuk dipandangi saja, tanpa komentar apa-apa.
Dua
puluh menit terdiam, sepertinya masih belum cukup untuk melamunkan pikiran ini
pada masa-masa indah dulu. Sepertinya aku tak hanya ingin sekedar
melamunkannya, tapi juga mengulangnya. Tapi tentu saja ketidakmungkinannya akan
lebih kuat dari kata mungkin yang sebetulnya lebih kuharapkan. Kesibukan kampus
akhir-akhir ini yang begitu menjenuhkan membuat aku seringkali malas untuk
beraktivitas. Ditambah lagi dengan masalah masalah yang menurut sebagian orang
mungkin ‘tidak penting’. Masalah rumit, misterius, dan juga sulit terpecahkan.
Seperti teka-teki saja. Bahkan detektif ternama dengan alibi yang kuat pun akan
mudah untuk menyerah. Karena ini sangat sulit untuk teranalisis logika. Apalagi
kalau bukan masalah hati. Ah, aku benci saja membahasnya. Andai saja perasaan
itu seperti komputer yang memiliki tombol ‘delete’
yang kapan saja bisa aku tekan. Huh, tentu sudah dari dulu aku lakukan itu.
Meskipun bias cahaya yang dia pantulkan lebih indah dari ‘me-ji-ku-hi-ni-bi-u’
yang seringkali aku tatap dari padang ilalangku dulu, tapi tetap saja kadar
indah cahaya itu tidak pas hingga berdampak buruk untukku. Entah itu merusak
mataku, iya seperti itulah kira-kira, tapi lebih anehnya malah merusak hatiku.
Dia tak lebih dari sekedar bayangan semu yang hanya bisa menebar pesona di
setiap pasang mata yang ada di dekatnya. Tanpa menjanjikan apa-apa. Semu, akan
selamanya menjadi semu. Hingga kesemuan itulah yang akan menjadikannya
selamanya semu. Tak akan pernah menjadi nyata.
Dulu,
di padang ilalang itu aku sangat suka tertawa. Tertawa selepas-lepasnya seperti
hidup ini adalah surga. Yang aku tau hanyalah berlari-larian bersama mereka
sesuka hatiku. Tak ada beban apa-apa, tak ada pikiran apa-apa, bercerita apa
saja dengan wajah polos dan lugu sembari menunggu senja. Indah sekali, bahkan
membuat aku lupa bahwa seiring perputaran waktu itu jua yang mengantarkan aku
hingga tumbuh dewasa. Tapi kini, di saat seperlima abad usiaku usai sudah
kulewati, dengan hari-hari panjang yang sebenarnya singkat sekali. Diiringi
cerita-cerita suka berbaurkan duka, aku jalani tanpa henti. Mengiringi putaran
waktu menuju senja, dan menanti pagi. Menapaki siklus kehidupan yang berputar
pada porosnya. Aku seperti tersentak dari mimpi indah yang cukup panjang.
Banyak sekali hal-hal baru yang sepertinya tak kukenali, hingga kadang
membuatku gamang dan hanya tegak terpaku seperti membeku. Sepertinya aku masih
butuh waktu untuk menyusun strategi. Tapi tetap, semua itu begitu menjenuhkan.
Di
padang ilalang itu aku suka sekali menatap jauh ke ujung sana, menikmati
semilir angin yang membelai manja rambutku. Memandangi kawanan burung pipit
yang menari-nari di pucuk pohon itu. Padang ilalang itu, seperti surga untuk
aku dan teman-temanku. Berbeda seratus 180 derajat dengan saat ini. Saat bias
semunya seakan mampu membiusku. Tak sekedar itu, bahkan telah mampu
mengacaukanku. Masih kuingat dengan jelas, saat teman dekatku selalu bercerita
tentang dia dan sebongkah perasaannya kepadaku. Dan aku, dengan segenap
kepolosan dan keluguanku dengan mudahnya berbunga-berbunga. Merah jambu
warnanya hatiku, saat dia dengan tersenyum lembut selalu menyapaku. Merah
meronanya wajahku, saat dia dengan bangganya menyebut namaku, bahkan di depan
teman-temanku. Begitu bodohnya aku. Dan tak tertahannya tangis ini, saat aku
tau kalau ternyata aku hanya sekedar tempat persinggahan, saat lelah dengan apa
yang ditujunya, saat jenuh dengan sesuatu yang ingin diraihnya. Dan kini,
ketika lelah dan jenuh itu telah mampu aku hilangkan, dengan mudahnya ia pergi,
dan akan mencari tempat persinggahan yang baru saat lelah dan jenuh kembali
menghampiri.
Di
padang ilalang ini, aku hampir menghabiskan masa kecilku. Di sana juga aku dan
teman-teman selalu bercerita, dari pulang sekolah, hingga waktu senja tiba. Aku
juga suka menatap mawar saat bersemi dengan indahnya. Meskipun mawar itu
berduri, tapi tetap saja menarik, karena akan mempunyai kepuasan tersendiri
bagi orang yang berhasil memetik mawar yang dahannya dipenuhi duri yang tajam
itu. Tentu saja setiap orang yang ingin memetik mawar tersebut telah siap
dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya nanti. Entah itu terluka oleh
durinya, ataupun sekedar gores saja. Itu juga yang dulu sudah kuputuskan,
membiarkan perasaan itu menari-nari indah dalam anganku. Mengizinkannya hingga
menguasai separuh warasku. Hingga nelangsa yang kurasa saat semua hanya semu
belaka. Tapi itulah konsekuensi yang harus kuterima.
Padang
ilalang, yang selalu mampu mengusir lelahku dan teman-temanku dulu, yang selalu
setia mendengar cerita-cerita kami, dan yang selalu bersedia menjadi tempat
persinggahan kami, kurang lebih ternyata sama seperti aku. Tapi pernahkah dia
membenciku? Saat kini kutemukan tempat-tempat baru di sini. Saat tak ada waktu
lagi bagiku dan teman-temanku untuk sekedar menjenguknya kala aku pulang ke
kampung halamanku. Saat aku sibuk dengan apa yang ingin kutuju, saat aku lengah
dengan sesuatu yang hendak kuraih. Tidak, padang ialalangku tidak pernah
membenciku. Bahkan dia akan tetap ada saat nanti (bahkan entah kapan) aku
menyempatkan waktu lagi untuk menatap senja di sana. Dia akan tetap ada.
Setidaknya aku bisa belajar dari padang ilalangku untuk tidak saling membenci,
meski pun hanya sekedar tempat persinggahan, tapi tetap saja dia pernah
menjejaki tempat itu. Terima kasih padang ilalangku, yang telah membuat aku
sadar tentang banyak hal, bahwa kehidupan itu tentang bagaimana memberi dan
juga menerima.
Untuk
padang ilalangku, terima kasih untuk senja indahnya, terima kasih untuk semilir
anginnya, terima kasih untuk kenangannya. Dan untuk kamu, terima kasih untuk
bunga-bunga semu yang pernah kau tabur di hati ini, terima kasih untuk goresan
lukanya, yang telah mampu mengajarkanku untuk lebih ikhlas dalam menerima.
Kamu, dan padang ilalangku. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar