Jumat, 15 Maret 2013

Cerpen Padang Ilalang



Padang Ilalang
Oleh: Restia Rahmi
Barangkali karena panas yang terlalu menyengat, hingga terpantul  dari bentangan aspal jalanan mana saja di kota ini. Barangkali karena pepohonan hijau yang semakin terancam punah, hingga gerah berkepanjangan tak kuasa lagi kuhindari. Aku? Mungkin tak hanya aku, tapi juga seluruh penghuni kota ini. Panas dan gerah, tentu hal itulah yang menjadi alasan utama bagiku untuk memilih bertapa di ruangan kecil, kamar kostku. Maret yang begitu gersang, membuat pikiranku menerawang dan hinggap pada kenangan panjang masa kecilku. Dulu, di hamparan tanah bertumbuhkan ilalang itu aku acap kali bermain. Berkejar-kejaran dengan teman-teman masa kecilku. Berlarian di sepanjang padang ilalang, hingga senja menjelang. Tapi senja pun tak jua membuat kami ingin pulang. Aku lebih suka memilih senja di padang ilalang itu. Entah mengapa, kurasa indah saja. Aku bisa merasakan semilir angin yang berhembus dengan lembutnya. Aku lebih suka duduk dan memandang jauh ke ujung hamparan ilalang itu, saat senja menjelang. Saat letih menyapa setelah hampir setengah hari berlarian kesana kemari. Aku lebih memilih diam, saat teman-temanku yang lain masih bercerita dengan semangatnya. Tentang pertandingan bola antar kampung yang dua minggu lagi akan diadakan, bertepatan dengan liburan semester. Tentang kejadian-kejadian lucu di sekolah tadi, tentang teman-teman MDA yang usil, tentang apa saja. Tapi bagiku, senja itu lebih menarik untuk dinikmati, lebih indah untuk dipandangi saja, tanpa komentar apa-apa.
Dua puluh menit terdiam, sepertinya masih belum cukup untuk melamunkan pikiran ini pada masa-masa indah dulu. Sepertinya aku tak hanya ingin sekedar melamunkannya, tapi juga mengulangnya. Tapi tentu saja ketidakmungkinannya akan lebih kuat dari kata mungkin yang sebetulnya lebih kuharapkan. Kesibukan kampus akhir-akhir ini yang begitu menjenuhkan membuat aku seringkali malas untuk beraktivitas. Ditambah lagi dengan masalah masalah yang menurut sebagian orang mungkin ‘tidak penting’. Masalah rumit, misterius, dan juga sulit terpecahkan. Seperti teka-teki saja. Bahkan detektif ternama dengan alibi yang kuat pun akan mudah untuk menyerah. Karena ini sangat sulit untuk teranalisis logika. Apalagi kalau bukan masalah hati. Ah, aku benci saja membahasnya. Andai saja perasaan itu seperti komputer yang memiliki tombol ‘delete’ yang kapan saja bisa aku tekan. Huh, tentu sudah dari dulu aku lakukan itu. Meskipun bias cahaya yang dia pantulkan lebih indah dari ‘me-ji-ku-hi-ni-bi-u’ yang seringkali aku tatap dari padang ilalangku dulu, tapi tetap saja kadar indah cahaya itu tidak pas hingga berdampak buruk untukku. Entah itu merusak mataku, iya seperti itulah kira-kira, tapi lebih anehnya malah merusak hatiku. Dia tak lebih dari sekedar bayangan semu yang hanya bisa menebar pesona di setiap pasang mata yang ada di dekatnya. Tanpa menjanjikan apa-apa. Semu, akan selamanya menjadi semu. Hingga kesemuan itulah yang akan menjadikannya selamanya semu. Tak akan pernah menjadi nyata.
Dulu, di padang ilalang itu aku sangat suka tertawa. Tertawa selepas-lepasnya seperti hidup ini adalah surga. Yang aku tau hanyalah berlari-larian bersama mereka sesuka hatiku. Tak ada beban apa-apa, tak ada pikiran apa-apa, bercerita apa saja dengan wajah polos dan lugu sembari menunggu senja. Indah sekali, bahkan membuat aku lupa bahwa seiring perputaran waktu itu jua yang mengantarkan aku hingga tumbuh dewasa. Tapi kini, di saat seperlima abad usiaku usai sudah kulewati, dengan hari-hari panjang yang sebenarnya singkat sekali. Diiringi cerita-cerita suka berbaurkan duka, aku jalani tanpa henti. Mengiringi putaran waktu menuju senja, dan menanti pagi. Menapaki siklus kehidupan yang berputar pada porosnya. Aku seperti tersentak dari mimpi indah yang cukup panjang. Banyak sekali hal-hal baru yang sepertinya tak kukenali, hingga kadang membuatku gamang dan hanya tegak terpaku seperti membeku. Sepertinya aku masih butuh waktu untuk menyusun strategi. Tapi tetap, semua itu begitu menjenuhkan.
Di padang ilalang itu aku suka sekali menatap jauh ke ujung sana, menikmati semilir angin yang membelai manja rambutku. Memandangi kawanan burung pipit yang menari-nari di pucuk pohon itu. Padang ilalang itu, seperti surga untuk aku dan teman-temanku. Berbeda seratus 180 derajat dengan saat ini. Saat bias semunya seakan mampu membiusku. Tak sekedar itu, bahkan telah mampu mengacaukanku. Masih kuingat dengan jelas, saat teman dekatku selalu bercerita tentang dia dan sebongkah perasaannya kepadaku. Dan aku, dengan segenap kepolosan dan keluguanku dengan mudahnya berbunga-berbunga. Merah jambu warnanya hatiku, saat dia dengan tersenyum lembut selalu menyapaku. Merah meronanya wajahku, saat dia dengan bangganya menyebut namaku, bahkan di depan teman-temanku. Begitu bodohnya aku. Dan tak tertahannya tangis ini, saat aku tau kalau ternyata aku hanya sekedar tempat persinggahan, saat lelah dengan apa yang ditujunya, saat jenuh dengan sesuatu yang ingin diraihnya. Dan kini, ketika lelah dan jenuh itu telah mampu aku hilangkan, dengan mudahnya ia pergi, dan akan mencari tempat persinggahan yang baru saat lelah dan jenuh kembali menghampiri.
Di padang ilalang ini, aku hampir menghabiskan masa kecilku. Di sana juga aku dan teman-teman selalu bercerita, dari pulang sekolah, hingga waktu senja tiba. Aku juga suka menatap mawar saat bersemi dengan indahnya. Meskipun mawar itu berduri, tapi tetap saja menarik, karena akan mempunyai kepuasan tersendiri bagi orang yang berhasil memetik mawar yang dahannya dipenuhi duri yang tajam itu. Tentu saja setiap orang yang ingin memetik mawar tersebut telah siap dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya nanti. Entah itu terluka oleh durinya, ataupun sekedar gores saja. Itu juga yang dulu sudah kuputuskan, membiarkan perasaan itu menari-nari indah dalam anganku. Mengizinkannya hingga menguasai separuh warasku. Hingga nelangsa yang kurasa saat semua hanya semu belaka. Tapi itulah konsekuensi yang harus kuterima.
Padang ilalang, yang selalu mampu mengusir lelahku dan teman-temanku dulu, yang selalu setia mendengar cerita-cerita kami, dan yang selalu bersedia menjadi tempat persinggahan kami, kurang lebih ternyata sama seperti aku. Tapi pernahkah dia membenciku? Saat kini kutemukan tempat-tempat baru di sini. Saat tak ada waktu lagi bagiku dan teman-temanku untuk sekedar menjenguknya kala aku pulang ke kampung halamanku. Saat aku sibuk dengan apa yang ingin kutuju, saat aku lengah dengan sesuatu yang hendak kuraih. Tidak, padang ialalangku tidak pernah membenciku. Bahkan dia akan tetap ada saat nanti (bahkan entah kapan) aku menyempatkan waktu lagi untuk menatap senja di sana. Dia akan tetap ada. Setidaknya aku bisa belajar dari padang ilalangku untuk tidak saling membenci, meski pun hanya sekedar tempat persinggahan, tapi tetap saja dia pernah menjejaki tempat itu. Terima kasih padang ilalangku, yang telah membuat aku sadar tentang banyak hal, bahwa kehidupan itu tentang bagaimana memberi dan juga menerima.
Untuk padang ilalangku, terima kasih untuk senja indahnya, terima kasih untuk semilir anginnya, terima kasih untuk kenangannya. Dan untuk kamu, terima kasih untuk bunga-bunga semu yang pernah kau tabur di hati ini, terima kasih untuk goresan lukanya, yang telah mampu mengajarkanku untuk lebih ikhlas dalam menerima. Kamu, dan padang ilalangku. Terima kasih.

Cerpen Negeri Para Pemimpi



Negeri Para Pemimpi
Oleh Restia Rahmi
Sekian lama terlelap dalam tidur  yang panjang, sampailah aku di sini, di negeri antah berantah. Penghuninya seperti tak kukenali, bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan pada diriku sendiri, di mana aku? Tapi tetap saja aku asing di tempat baru itu, “negeri antah berantah”.
Sekian lama terpaku dalam keraguan, akhirnya aku putuskan melanjutkan perjalanan. Mataku bergerilya menatap sekitar. Jalanan dengan kerikil tajam dipenuhi bebatuan yang kulalui. Jurang dalam di sisi kiri dan kanan melingkariku. Semua orang tampak bergegas dengan berjalan kaki. Mereka seperti tak menyadari keberadaanku, dan juga keberadaan sesama mereka. Mata mereka hanya terpaku dan terfokus pada satu titik,  jalanan terjal yang mesti mereka lalui, semua menatap ke depan. Hanya aku yang tercengang-cengang tak berketentuan, masih terpaku dalam kebingungan.
“Hey, ini dimana?” Kuberanikan mencegat seorang pejalan kaki yang kebetulan berlawanan arah denganku. Orang itu tersentak kaget. “Ini negeri awan tuan”, kata lelaki itu menjawab dingin dan kembali bergegas melanjutkan perjalanan. Ia berjalan cepat sekali, seperti dikejar bom waktu. Aku pun kembali tertegun memandangi dari tempatku berdiri, semakin tidak mengerti. Lelaki itu semakin lama semakin jauh, lalu menghilang di kejauhan.
Kembali lama terdiam, aku putuskan melanjutkan perjalanan, beringsut. Langkah demi langkah kulewati kerikil tajam dan bebatuan yang membuat langkahku semakin lamban.  Tiba-tiba kulihat dua orang bapak tua sedang duduk-duduk santai di bawah pohon nan rindang. Aku pun menghentikan langkah dan menuju ke arah dua orang bapak tua tersebut. “Permisi pak, maaf mengganggu.” Aku beranikan menyapa dengan sedikit kalimat basa-basi yang kurangkai sebisaku. Namun, bukannya menyambut ramah, kedatanganku malah dijamu dengan tatapan aneh dari empat pasang mata tersebut. Dengan gerak gerik yang semakin kaku aku kembali beranikan diri bersuara, “Maaf pak, kalau boleh tau ini dimana?” bertanya lagi-lagi dengan kalimat yang kurangkai semampuku. “Sudah kuduga kalau kau bukan orang sini anak muda”, seorang bapak yang berperawakan lebih kurus menjawab dingin. “Dari gerak-geriknya saja sudah bisa ditebak”, bapak tua yang satu lagi menambahkan. Aku semakin bingung dengan daerah ini, orang-orang yang aneh, dan bentuk daerahnya juga sangat aneh. Aku pun berpikir keras, mengapa aku bisa sampai ke tempat ini. “ Ini negeri awan, tempat para pemimpi menggantungkan mimpi-mimpi mereka”, kata bapak tua yang agak kurus tadi. “Iya benar sekali, ini negeri awan, tempat para pemimpi melabuhkan harapan mereka”, kata bapak tua yang satu lagi melanjutkan.
Aku putuskan terus berjalan. Penjelasan dari dua orang bapak tua tadi sedikit melegakan. Meskipun tetap tak temukan jawaban, tapi setidaknya aku tau tempatku berada, “Negeri Awan”. Semakin lama aku berjalan, semakin lelah dan letih kurasakan. Perjalanan ini terasa begitu jauh, begitu panjang, seperti tiada ujung. Jalanan mendaki, menurun, tikungan tajam, batu-batu runcing, jurang-jurang yang mencekam tak hentinya aku temui. Meski lamban, tapi tetap kupaksakan, berharap perjalanan ini menemukan ujung.
“Ini negeri awan, tempat para pemimpi menggantungkan mimpi-mimpi mereka, melabuhkan harapan-harapan mereka”, kata-kata dua orang bapak tua tadi seperti terngiang-ngiang di telingaku. Nafasku terengah, semua persendianku sakit, dan lelah yang teramat sangat kurasakan. Akhirnya aku terlelap di sana, di bawah sebuah pohon yang terletak di pinggir sungai. Di belai manja semilir angin sepoi, didendangkan nyanyian kicau burung nan menyatu dengan gemericik air sungai yang mengalir deras. Aku benar-benar kelelahan, hingga tertidur pulas.
Entah berapa lama aku tidur di tempat itu, di sebuah pohon, di tepi sungai, di negeri antah berantah, negeri para pemimpi. Tapi aku begitu kaget, saat terbangun aku kembali ke tempatku semula. Sebuah tempat yang sangat kukenali. Masih dalam keadaan mengantuk karena baru saja terbangun dari tidurku yang lelap, ternyata aku baru sadar ternyata ada seorang perempuan yang berumur sekitar dua puluhan yang duduk sambil menangis tak jauh dari tempatku. “Mengapa kau menangis?” Aku menyapa gadis itu. Dengan nafas tercekat karena tangis yang sengaja ditahannya ia menjawab, “Aku benci hidupku, kenapa aku harus dilahirkan dari orang tua yang miskin, tak berpendidikan?” Gadis itu menjawab sinis sambil sesekali terisak karena sedari tadi menangis. “Ssst...tidak boleh kau bilang begitu, semua itu sudah takdirnya. Walaubagaimanapun mereka adalah orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, yang membiayai hidupmu dari kecil.” Gadis itu menatap tajam ke arahku, “Heh, ternyata kau sama saja seperti orang-orang kebanyakan, sama saja seperti mereka, selalu saja membicarakan takdir. Tahukah kau kalau aku benci mendengarnya?” Gadis itu melontarkan kata-kata itu dengan nada yang tidak bersahabat. “Aku benci bila harus hidup miskin”, gadis itu melanjutkan.
Aku kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Perjalanan jauh ke negeri antah berantah begitu menguras tenagaku. Sehari setelah bertemu seorang gadis yang mengaku sangat benci membicarakan takdir itu, aku bertemu lagi dengan seorang lelaki yang hampir sebaya dengan gadis kemarin. Laki-laki itu tampak kehilangan separuh warasnya. Duduk tertegun di pinggir sungai di ujung desa. Melempar-lemparkan kerikil yang sengaja dikumpulkannya di jalanan saat menuju pinggir sungai tersebut. ia tampak lunglai sekali dan tidak bersemangat. Aku lagi-lagi mencoba bertanya, “Ada apa gerangan kau tampak murung sekali kawan?” laki-laki itu pun menatap kosong ke arah sungai dan menjawab dengan sangat lemah sekali. “Aku benci hidupku, seorang gadis yang sangat kucintai menghianatiku, ia memilih untuk menikah dengan laki-laki lain. Aku seperti tak ingin hidup lagi.” Lelaki tersebut menjelaskan dengan nada frustasi yang sangat jelas terlihat. Aku hanya manggut-manggut mendengar penjelasan lelaki itu, sambil terbayang negeri para pemimpi yang sempat kukunjungi.  Negeriku, berbeda jauh dengan negeri para pemimpi tersebut. Di sana, semua orang  bergerak cepat, bergegas seperti tak mau ketinggalan. Meski dengan berjalan kaki dan melintasi medan yang sangat berbahaya, tapi mereka tak kehilangan semangat. Mereka tetap bertekad untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka dan meraih harapan-harapan mereka. Semua orang bergerak cepat, tak ada yang lamban. Mereka berjalan dengan sungguh-sungguh. Bahkan aku seperti malu dengan diriku sendiri saat berada di sana. Hanya aku yang tercengang-cengang dan bergerak lamban. Tapi di sini, di negeriku, malah sebaliknya. Semua orang sibuk mengurusi urusan-urusan yang tak penting, sibuk meratapi dan menyesali kedaan mereka tanpa mncari jalan untuk merubahnya menjadi lebih baik. Di sini, di negeriku, semua orang sibuk mengeluh, sibuk mengurusi urusan orang lain yang sebenarnya tidak patut untuk mereka urus. Saling menjatuhkan satu sama lain, menyibukkan diri dengan urusan perasaan dan berlarut-larut di dalamnya. Itulah negeriku, berbanding terbalik dengan negeri para pemimpi yang pernah kukunjungi.
Aku seperti ingin kembali ke negeri itu, negeri para pemimpi. Menyatu bersama mereka untuk meraih mimpi, melabuhkan harapan-harapan yang sejak dulu kurangkai. Tapi aku seperti tersesat di sini. Di negeriku sendiri. Aku hanya berharap bisa kembali menginjakkan kaki di tempat itu, negeri para pemimpi.

Selasa, 12 Maret 2013

Cerpen Rantai



Rantai
oleh: Restia Rahmi




            “Untuk apa kau masih mengikuti ujian itu yun, tak akan ada gunanya. Bagaikan pungguk merindukan bulan jika kau masih berharap kuliah. Siapa yang akan membiayai kuliah kau nanti? Bapak sudah sakit-sakitan, tidak akan sanggup lagi bekerja nak.”  Kalimat yang pernah dilontarkan oleh bapaknya dulu sewaktu beliau masih hidup masih terngiang  jelas di telinga Yuni, seorang gadis 21 tahun yang begitu bersemangat ingin melanjutkan pendidikannya ke  jenjang perguruan tinggi. Tapi apa mau dikata, bapaknya sudah tiada, dua orang kakaknya sekarang entah di mana, sudah meninggalkan rumah semenjak lima tahun yang lalu. Tanpa kabar berita. Entah senang hidupnya, entah susah, Yuni pun tidak pernah tahu. Adik kecilnya dulu, sekarang sudah menginjak usia remaja, dan bersekolah di sebuah SMP swasta di Pekanbaru, tinggal bersama makdangnya. Yuni mendengar kabar dari orang-orang bahwa adiknya juga sengsara hidupnya di sana karena sering disiksa oleh makdangnya sendiri dengan kejam. Sekarang ia hanya punya seseorang dalam hidupnya, seseorang itulah yang telah melahirkannya ke dunia ini, merawat dan membimbingnya sejak kecil, perempuan itu adalah ibunya, yang biasa dipanggil Yuni dengan amak.
            Malam semakin larut, kian menyatu dengan sunyi. Hanya bunyi jangrik yang terdengar memecah sepi, dan sesekali berpadu dengan desau angin yang meniup dedaunan. Yuni masih bermenung, mengingat cerita demi cerita yang telah ia lalui. Membayangkan rentetan peristiwa yang telah mengisi hari-harinya. Dari semua cerita itu, ternyata hanya sebagian kecil yang mampu membuatnya tersenyum, hampir semua cerita mengukir pilu dalam hatinya. Tapi ia seorang gadis yang tumbuh dewasa bersama kisah-kisah pilu itu. Semua itu sudah tak asing lagi baginya, sudah terbiasa hidup susah.
“Yuni.....Yuni.......Yuni......” Tiba-tiba pintu kamarnya digedor dengan sangat keras. Yuni tersentak dari lamunan panjangnya. Suara itu begitu memekakkan telinga, suara yang tidak asing baginya. Ia seka butir-butir bening yang sejak tadi menetesi pipinya. “Iya mak, sebentar.” Yuni berusaha selembut mungkin menjawab bentakan keras ibunya. “Di mana kau sembunyikan kunci rumah? Cepat katakan, jika tidak aku akan mengacak-acak isi kamar ini.” Entah untuk keberapa kali kamar berukuran sangat kecil tempat tidur Yuni di acak-acak sang ibu. Semua yang ada di kamar yang bahkan tidak layak di sebut kamar itu di kacau balaukan ibunya. Buku-buku yang ia beli dengan upah mencuci yang diterimanya dari tetangga pun pernah dibakar ibunya di kamar tersebut, yang membuat rumah hampir terbakar. Itulah yang sering dilakukan perempuan tua itu, jika keinginannya tak diperturutkan Yuni. Sekarang, ibunya masuk meronta-ronta dengan sangat keras, sebuah pisau yang ia dapat entah dari mana ia pegang di tangannya, dan sekarang mengarah ke Yuni untuk siap ditusukkan. Mata merah  perempuan itu membelalak tajam bak harimau ingin menerkam mangsanya. Yuni kaget bukan main hingga membuatnya tak mampu berkata-kata. Ia sangat ketakutan, keringat dingin bercucuran di leher dan pipinya berbaur dengan genangan air mata yang tak mampu lagi dibendungnya. “Amak...aku ini anakmu.” Hanya kalimat itu yang terucap lirih di bibir tipisnya. Ibunya semakin mendekat dan ingin menusukkan pisau itu ke arahnya. Tiba-tiba gelap, waktu seolah terhenti, ia semakin lemah tak berdaya pandangannya berkunang, makin lama makin hilang.
*          *          *
            Pagi yang cerah, mentari tersenyum dengat amat merekah. Namun tidak bagi Yuni, sendu, pilu berbaur jadi satu membeku dalam kesedihan panjang yang tak berujung. Mata sembabnya sesekali masih meneteskan butiran bening pertanda luka dalam di hatinya. Sesekali ia juga meringis kesakitan akibat bekas tusukkan pisau di bahu kanannya. Yuni memang sempat pingsan saat darah mulai menetes dan merembes baju kaos putih lusuh yang dipakainya. Ia sadar saat sudah berada di rumah bidan desa yang tak jauh dari rumahnya. Saat terbangun, ia melihat beberapa orang tetangga sedang mengelilinginya. Semua menatap iba kepada Yuni. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka masing-masing, bahkan seorang ibu-ibu tua yang mungkin seumuran dengan ibunya tidak tahan lagi membendung air matanya. “Malang sekali nasibmu nak”, ujar ibu tua itu. “Di mana amak? Apa beliau sehat-sehat saja?” Itulah yang paling dulu ditanyakan Yuni saat bangun dari pingsannya. “Tenang nak, amak sudah diamankan oleh kepala desa, pikirkan saja dahulu kesehatanmu”, ucap para tetangga itu menenangkan Yuni.
            Hari kedua Yuni terpaksa menginap di rumah bidan tersebut. Di sana tentu saja jauh lebih tenang dibandingkan dengan rumahnya sendiri. Semua tetangga begitu prihatin terhadap kesehatan Yuni, termasuk bidan tersebut. Ia juga menaruh iba terhadap nasib malang yang menimpa Yuni. Meskipun demikian, Yuni masih sering ketakutan sendiri. Yuni sering menggigil ketakutan saat terbayang kisah tragis dua hari lalu yang menimpanya. Nyawanya hampir melayang di tangan ibu kandungnya sendiri. Untung saja, beberapa hari berlalu kesehatannya berangsur pulih, dan ketakutan yang sering menghantuinya itupun mulai berkurang.
Seminggu sudah Yuni dirawat di rumah bidan desa yang tak begitu jauh dari rumahnya. Setelah Yuni dianggap benar-benar pulih, ia diizinkan untuk kembali ke rumah. Tapi entah mengapa hal itu justru menimbulkan kekhawatiran yang mendalam baginya. Ia begitu takut dengan ibunya. Yuni tak bisa membayangkan hari-hari yang melelahkan dan mencekam saat ibunya mengamuk, marah-marah dan bahkan ingin membunuh Yuni. Sebelum Yuni pulang, seorang teman dekatnya dari kecil mengajak Yuni untuk sementara tinggal di rumahnya, namun Yuni menolak dan memilih untuk kembali ke rumah. Rina juga mengabarkan bahwa ibu Yuni sudah diamankan oleh kepala desa. Kedua kaki dan tangannya dirantai. Yuni terdiam mendengar kabar dari temannya tersebut. Entah apa yang ada dalam pikirannya. “Sudahlah Yun, amak tidak apa-apa, itu semua juga demi keselamatan kamu.” Rina, yang seolah mengerti apa yang dipikirkan sahabatnya tersebut mencoba menghibur Yuni. Ia tahu yuni sangat sedih jika seseuatu menimpa ibunya. Berat memang cobaan yang menimpa Yuni, tapi semua harus dijalani, dan Yuni tetap meyakinkan dirinya bahwa Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran hamba-Nya.
*          *          *
Senja menjelang malam. Mentari perlahan bersembunyi dan memancarkan sinar kemerahan di arah Barat. Burung-burung kelelawar mulai berlomba-lomba pergi mencari makan. Ada yang bergerombol bersama yang lain, dan ada pula yang terbang sendiri. angin sore bertiup pelan seolah bercengkrama dengan dedaunan. Beberapa orang petani menggiring kerbaunya ukntuk kembali ke kandang. Senja yang sempurna, membuat Yuni tetap ingin berlama-lama di sana. Ia memang sering menghabiskan senja di dangau-dangau sawah yang terletak di belakang rumahnya. Sebatang pohon Jambu tua selalu setia menemaninya. Ia teringat masa-masa kecilnya, saat ayah dan ibunya masih hidup bersama. Saat musim Jambu tiba, ayah sering mengambilkan buah jambu yang banyak untuknya. Ibu hanya tersenyum melihat Yuni kewalahan mengumpulkan buah jambu tersebut. Semua sangat indah terasa, namun kebersamaan tersebut kini hanya terbingkai dalam sebuah kenangan. Hidup Yuni sekarang begitu hambar, datar, dan tak berwarna.
Saat pagi tiba, ia bangun dan menyiapkan makanan untuk ibunya yang dirantai di kamar belakang. Setiap pagi itu pula ia tak kuasa menahan tangis melihat ibunya yang memberontak minta dilepas dari rantai yang mengikat kedua tangan dan kakinya. Bentakan keras yang hampir setiap saat itu membuat lecet pergelangan kaki dan tangannya. Kadang ibunya menangis tersedu-sedu, dan hampir dalam waktu bersamaan pula ia tertawa terbahak-bahak, dan tak jarang mengumpat berkata-kata kotor sambil berteriak. Keadaan itulah yang harus dihadapi Yuni setiap harinya. Di satu sisi, ia cukup aman jika ibunya dirantai seperti sekarang karena tentu saja ibunya tidak akan bisa mengamuk dan berlaku kasar seperti yang sudah-sudah. Tapi di sisi lain, batinnya begitu tersiksa melihat rantai yang membelit pada kaki dan tangan seorang perempuan yang sangat dikasihinya itu. Bagaimana pun, perempuan itu tetap ibunya.
*          *          *
Waktu bergulir begitu cepat, jarum jam tetap saja berputar sebagaimana mestinya. Putaran tersebut telah mengukir banyak cerita, menggoreskan banyak kisah. Tanpa terasa, yuni sudah menginjak 25 tahun. Usia yang sudah tergolong matang untuk berumah tangga. Teman-teman masa kecilnya dulu semuanya sudah menikah, bahkan ada yang sudah mempunyai tiga anak. Yuni masih saja sendiri menikmati hari-harinya yang sepi, berbakti merawat ibu yang kian lama kian menua termakan usia. Setiap ada laki-laki yang mendekatinya, selalu saja mundur beraturan setelah tahu tentang keadaan ibunya. Yuni tidak ambil pusing, semua ia serahkan pada Yang Kuasa.
Sore menjelang, gerimis membungkus desa. Sejak siang langit gelap, mendung pertanda akan hujan. Angin bertiup kencang menambah sendu suasana. Yuni harus pulang, sebelum adzan magrib berkumandang. Sejak tadi ia tak bisa konsentrasi bekerja membersihkan rumah tempat ia biasa mencuci. Majikannya minta tolong kepada Yuni untuk membersihkan rumah dan pekarangannya. Meski telah berusaha untuk fokus bekerja, namun yuni tetap saja gelisah. Pikirannya tertuju pada sang ibu yang masih tetap dirantai kedua tangannya. Pernah tiga tahun yang lalu rantai itu dilepas karena sang ibu sudah kelihatan sedikit sehat, tapi ternyata sama saja. Perempuan itu mengamuk lagi, berdiri di jalan depan rumahnya memaksa setiap orang yang lewat memberikan uang kepadanya. Jika menolak, ia mengancam dengan sebuah pisau ditangannya. Keadaan itu tentu saja menggelisahkan warga. Kepala desa pun ambil kebijakan untuk kembali merantai kedua tangan dan kakinya. Tapi dua minggu yang lalu, kaki perempuan tersebut luka dan bernanah akibat gesekan rantai dengan kakinya saat ia berusaha berontak untuk melepaskan ikatan tersebut. Kedua ikatan di kakinya pun dilepas, sehingga hanya kedua tangannya saja yang tetap diikat. Setelah minta izin kepada sang majikan, Yuni bergegas pulang ke rumahnya. Untung saja ia tidak lupa membawa payung di tas lusuh satu-satunya yang ia punya. Ia kembangkan payung tersebut, dan dengan perasaan yang tetap gelisah ia berjalan menelusuri jalan setapak menuju rumahnya.
Langit yang sejak tadi tertahan tidak bisa dibendung lagi. Gerimis berganti menjadi hujan lebat yang membasuh seluruh desa. Angin kencang yang tadi ingin membawa awan hitam akhirnya mengalah demi hujan. Buru-buru Yuni masuk ke dalam rumah. Dengan pakaian separuh basah ia cepat-cepat menuju kamar belakang tempat ibunya dirantai. Ia dapati ibunya seperti tertidur pulas membelakang ke arahnya. Ia tersenyum lega melihat sang ibu tengah terdidur pulas. Ia berbalik arah menuju ke kamarnya karena tidak ingin menggaggu tidur sang ibu. Setelah ia mandi dan shalat maghrib, ia lirik jam tua yang digantung pada dinding rumahnya. Pukul 19.00 WIB. Teringat akan ibunya yang belum makan, ia buru-buru mengambilkan nasi yang siang tadi sempat dimasaknya, dan diantarkan ke kamar tempat ibunya dirantai. “Mak...mak....yuni membawakan amak makanan, dimakan dulu mak, nanti baru lanjutkan lagi tidur amak.” Beberapa kali yuni membangunkan ibunya dengan hati-hati, tapi tetap tidak ada sahutan. Yuni membalikkan badan ibunya, ternyata sama, tetap tak ada respon. Tiba-tiba bumi seperti berhenti berputar, isak tangis berpadu dengan hujan. Setiap tulangnya terasa lemah membuatnya tak mampu lagi berdiri. Belitan rantai itu berputar-putar serasa siap membelit seluruh tubuhnya hingga ia tak mampu lagi bergerak. Suaranya pun tertahan dan bungkam untuk sekedar memanggil sebuah kata “amak”.  Bersama lilitan rantai itu ia terpaku dan membeku. Rantai itu, saksi bisu kepergian sang ibu. Hanya suara hujan yang terdengar, semakin lama makin lebat.