Selasa, 12 Maret 2013

Cerpen Rantai



Rantai
oleh: Restia Rahmi




            “Untuk apa kau masih mengikuti ujian itu yun, tak akan ada gunanya. Bagaikan pungguk merindukan bulan jika kau masih berharap kuliah. Siapa yang akan membiayai kuliah kau nanti? Bapak sudah sakit-sakitan, tidak akan sanggup lagi bekerja nak.”  Kalimat yang pernah dilontarkan oleh bapaknya dulu sewaktu beliau masih hidup masih terngiang  jelas di telinga Yuni, seorang gadis 21 tahun yang begitu bersemangat ingin melanjutkan pendidikannya ke  jenjang perguruan tinggi. Tapi apa mau dikata, bapaknya sudah tiada, dua orang kakaknya sekarang entah di mana, sudah meninggalkan rumah semenjak lima tahun yang lalu. Tanpa kabar berita. Entah senang hidupnya, entah susah, Yuni pun tidak pernah tahu. Adik kecilnya dulu, sekarang sudah menginjak usia remaja, dan bersekolah di sebuah SMP swasta di Pekanbaru, tinggal bersama makdangnya. Yuni mendengar kabar dari orang-orang bahwa adiknya juga sengsara hidupnya di sana karena sering disiksa oleh makdangnya sendiri dengan kejam. Sekarang ia hanya punya seseorang dalam hidupnya, seseorang itulah yang telah melahirkannya ke dunia ini, merawat dan membimbingnya sejak kecil, perempuan itu adalah ibunya, yang biasa dipanggil Yuni dengan amak.
            Malam semakin larut, kian menyatu dengan sunyi. Hanya bunyi jangrik yang terdengar memecah sepi, dan sesekali berpadu dengan desau angin yang meniup dedaunan. Yuni masih bermenung, mengingat cerita demi cerita yang telah ia lalui. Membayangkan rentetan peristiwa yang telah mengisi hari-harinya. Dari semua cerita itu, ternyata hanya sebagian kecil yang mampu membuatnya tersenyum, hampir semua cerita mengukir pilu dalam hatinya. Tapi ia seorang gadis yang tumbuh dewasa bersama kisah-kisah pilu itu. Semua itu sudah tak asing lagi baginya, sudah terbiasa hidup susah.
“Yuni.....Yuni.......Yuni......” Tiba-tiba pintu kamarnya digedor dengan sangat keras. Yuni tersentak dari lamunan panjangnya. Suara itu begitu memekakkan telinga, suara yang tidak asing baginya. Ia seka butir-butir bening yang sejak tadi menetesi pipinya. “Iya mak, sebentar.” Yuni berusaha selembut mungkin menjawab bentakan keras ibunya. “Di mana kau sembunyikan kunci rumah? Cepat katakan, jika tidak aku akan mengacak-acak isi kamar ini.” Entah untuk keberapa kali kamar berukuran sangat kecil tempat tidur Yuni di acak-acak sang ibu. Semua yang ada di kamar yang bahkan tidak layak di sebut kamar itu di kacau balaukan ibunya. Buku-buku yang ia beli dengan upah mencuci yang diterimanya dari tetangga pun pernah dibakar ibunya di kamar tersebut, yang membuat rumah hampir terbakar. Itulah yang sering dilakukan perempuan tua itu, jika keinginannya tak diperturutkan Yuni. Sekarang, ibunya masuk meronta-ronta dengan sangat keras, sebuah pisau yang ia dapat entah dari mana ia pegang di tangannya, dan sekarang mengarah ke Yuni untuk siap ditusukkan. Mata merah  perempuan itu membelalak tajam bak harimau ingin menerkam mangsanya. Yuni kaget bukan main hingga membuatnya tak mampu berkata-kata. Ia sangat ketakutan, keringat dingin bercucuran di leher dan pipinya berbaur dengan genangan air mata yang tak mampu lagi dibendungnya. “Amak...aku ini anakmu.” Hanya kalimat itu yang terucap lirih di bibir tipisnya. Ibunya semakin mendekat dan ingin menusukkan pisau itu ke arahnya. Tiba-tiba gelap, waktu seolah terhenti, ia semakin lemah tak berdaya pandangannya berkunang, makin lama makin hilang.
*          *          *
            Pagi yang cerah, mentari tersenyum dengat amat merekah. Namun tidak bagi Yuni, sendu, pilu berbaur jadi satu membeku dalam kesedihan panjang yang tak berujung. Mata sembabnya sesekali masih meneteskan butiran bening pertanda luka dalam di hatinya. Sesekali ia juga meringis kesakitan akibat bekas tusukkan pisau di bahu kanannya. Yuni memang sempat pingsan saat darah mulai menetes dan merembes baju kaos putih lusuh yang dipakainya. Ia sadar saat sudah berada di rumah bidan desa yang tak jauh dari rumahnya. Saat terbangun, ia melihat beberapa orang tetangga sedang mengelilinginya. Semua menatap iba kepada Yuni. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka masing-masing, bahkan seorang ibu-ibu tua yang mungkin seumuran dengan ibunya tidak tahan lagi membendung air matanya. “Malang sekali nasibmu nak”, ujar ibu tua itu. “Di mana amak? Apa beliau sehat-sehat saja?” Itulah yang paling dulu ditanyakan Yuni saat bangun dari pingsannya. “Tenang nak, amak sudah diamankan oleh kepala desa, pikirkan saja dahulu kesehatanmu”, ucap para tetangga itu menenangkan Yuni.
            Hari kedua Yuni terpaksa menginap di rumah bidan tersebut. Di sana tentu saja jauh lebih tenang dibandingkan dengan rumahnya sendiri. Semua tetangga begitu prihatin terhadap kesehatan Yuni, termasuk bidan tersebut. Ia juga menaruh iba terhadap nasib malang yang menimpa Yuni. Meskipun demikian, Yuni masih sering ketakutan sendiri. Yuni sering menggigil ketakutan saat terbayang kisah tragis dua hari lalu yang menimpanya. Nyawanya hampir melayang di tangan ibu kandungnya sendiri. Untung saja, beberapa hari berlalu kesehatannya berangsur pulih, dan ketakutan yang sering menghantuinya itupun mulai berkurang.
Seminggu sudah Yuni dirawat di rumah bidan desa yang tak begitu jauh dari rumahnya. Setelah Yuni dianggap benar-benar pulih, ia diizinkan untuk kembali ke rumah. Tapi entah mengapa hal itu justru menimbulkan kekhawatiran yang mendalam baginya. Ia begitu takut dengan ibunya. Yuni tak bisa membayangkan hari-hari yang melelahkan dan mencekam saat ibunya mengamuk, marah-marah dan bahkan ingin membunuh Yuni. Sebelum Yuni pulang, seorang teman dekatnya dari kecil mengajak Yuni untuk sementara tinggal di rumahnya, namun Yuni menolak dan memilih untuk kembali ke rumah. Rina juga mengabarkan bahwa ibu Yuni sudah diamankan oleh kepala desa. Kedua kaki dan tangannya dirantai. Yuni terdiam mendengar kabar dari temannya tersebut. Entah apa yang ada dalam pikirannya. “Sudahlah Yun, amak tidak apa-apa, itu semua juga demi keselamatan kamu.” Rina, yang seolah mengerti apa yang dipikirkan sahabatnya tersebut mencoba menghibur Yuni. Ia tahu yuni sangat sedih jika seseuatu menimpa ibunya. Berat memang cobaan yang menimpa Yuni, tapi semua harus dijalani, dan Yuni tetap meyakinkan dirinya bahwa Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran hamba-Nya.
*          *          *
Senja menjelang malam. Mentari perlahan bersembunyi dan memancarkan sinar kemerahan di arah Barat. Burung-burung kelelawar mulai berlomba-lomba pergi mencari makan. Ada yang bergerombol bersama yang lain, dan ada pula yang terbang sendiri. angin sore bertiup pelan seolah bercengkrama dengan dedaunan. Beberapa orang petani menggiring kerbaunya ukntuk kembali ke kandang. Senja yang sempurna, membuat Yuni tetap ingin berlama-lama di sana. Ia memang sering menghabiskan senja di dangau-dangau sawah yang terletak di belakang rumahnya. Sebatang pohon Jambu tua selalu setia menemaninya. Ia teringat masa-masa kecilnya, saat ayah dan ibunya masih hidup bersama. Saat musim Jambu tiba, ayah sering mengambilkan buah jambu yang banyak untuknya. Ibu hanya tersenyum melihat Yuni kewalahan mengumpulkan buah jambu tersebut. Semua sangat indah terasa, namun kebersamaan tersebut kini hanya terbingkai dalam sebuah kenangan. Hidup Yuni sekarang begitu hambar, datar, dan tak berwarna.
Saat pagi tiba, ia bangun dan menyiapkan makanan untuk ibunya yang dirantai di kamar belakang. Setiap pagi itu pula ia tak kuasa menahan tangis melihat ibunya yang memberontak minta dilepas dari rantai yang mengikat kedua tangan dan kakinya. Bentakan keras yang hampir setiap saat itu membuat lecet pergelangan kaki dan tangannya. Kadang ibunya menangis tersedu-sedu, dan hampir dalam waktu bersamaan pula ia tertawa terbahak-bahak, dan tak jarang mengumpat berkata-kata kotor sambil berteriak. Keadaan itulah yang harus dihadapi Yuni setiap harinya. Di satu sisi, ia cukup aman jika ibunya dirantai seperti sekarang karena tentu saja ibunya tidak akan bisa mengamuk dan berlaku kasar seperti yang sudah-sudah. Tapi di sisi lain, batinnya begitu tersiksa melihat rantai yang membelit pada kaki dan tangan seorang perempuan yang sangat dikasihinya itu. Bagaimana pun, perempuan itu tetap ibunya.
*          *          *
Waktu bergulir begitu cepat, jarum jam tetap saja berputar sebagaimana mestinya. Putaran tersebut telah mengukir banyak cerita, menggoreskan banyak kisah. Tanpa terasa, yuni sudah menginjak 25 tahun. Usia yang sudah tergolong matang untuk berumah tangga. Teman-teman masa kecilnya dulu semuanya sudah menikah, bahkan ada yang sudah mempunyai tiga anak. Yuni masih saja sendiri menikmati hari-harinya yang sepi, berbakti merawat ibu yang kian lama kian menua termakan usia. Setiap ada laki-laki yang mendekatinya, selalu saja mundur beraturan setelah tahu tentang keadaan ibunya. Yuni tidak ambil pusing, semua ia serahkan pada Yang Kuasa.
Sore menjelang, gerimis membungkus desa. Sejak siang langit gelap, mendung pertanda akan hujan. Angin bertiup kencang menambah sendu suasana. Yuni harus pulang, sebelum adzan magrib berkumandang. Sejak tadi ia tak bisa konsentrasi bekerja membersihkan rumah tempat ia biasa mencuci. Majikannya minta tolong kepada Yuni untuk membersihkan rumah dan pekarangannya. Meski telah berusaha untuk fokus bekerja, namun yuni tetap saja gelisah. Pikirannya tertuju pada sang ibu yang masih tetap dirantai kedua tangannya. Pernah tiga tahun yang lalu rantai itu dilepas karena sang ibu sudah kelihatan sedikit sehat, tapi ternyata sama saja. Perempuan itu mengamuk lagi, berdiri di jalan depan rumahnya memaksa setiap orang yang lewat memberikan uang kepadanya. Jika menolak, ia mengancam dengan sebuah pisau ditangannya. Keadaan itu tentu saja menggelisahkan warga. Kepala desa pun ambil kebijakan untuk kembali merantai kedua tangan dan kakinya. Tapi dua minggu yang lalu, kaki perempuan tersebut luka dan bernanah akibat gesekan rantai dengan kakinya saat ia berusaha berontak untuk melepaskan ikatan tersebut. Kedua ikatan di kakinya pun dilepas, sehingga hanya kedua tangannya saja yang tetap diikat. Setelah minta izin kepada sang majikan, Yuni bergegas pulang ke rumahnya. Untung saja ia tidak lupa membawa payung di tas lusuh satu-satunya yang ia punya. Ia kembangkan payung tersebut, dan dengan perasaan yang tetap gelisah ia berjalan menelusuri jalan setapak menuju rumahnya.
Langit yang sejak tadi tertahan tidak bisa dibendung lagi. Gerimis berganti menjadi hujan lebat yang membasuh seluruh desa. Angin kencang yang tadi ingin membawa awan hitam akhirnya mengalah demi hujan. Buru-buru Yuni masuk ke dalam rumah. Dengan pakaian separuh basah ia cepat-cepat menuju kamar belakang tempat ibunya dirantai. Ia dapati ibunya seperti tertidur pulas membelakang ke arahnya. Ia tersenyum lega melihat sang ibu tengah terdidur pulas. Ia berbalik arah menuju ke kamarnya karena tidak ingin menggaggu tidur sang ibu. Setelah ia mandi dan shalat maghrib, ia lirik jam tua yang digantung pada dinding rumahnya. Pukul 19.00 WIB. Teringat akan ibunya yang belum makan, ia buru-buru mengambilkan nasi yang siang tadi sempat dimasaknya, dan diantarkan ke kamar tempat ibunya dirantai. “Mak...mak....yuni membawakan amak makanan, dimakan dulu mak, nanti baru lanjutkan lagi tidur amak.” Beberapa kali yuni membangunkan ibunya dengan hati-hati, tapi tetap tidak ada sahutan. Yuni membalikkan badan ibunya, ternyata sama, tetap tak ada respon. Tiba-tiba bumi seperti berhenti berputar, isak tangis berpadu dengan hujan. Setiap tulangnya terasa lemah membuatnya tak mampu lagi berdiri. Belitan rantai itu berputar-putar serasa siap membelit seluruh tubuhnya hingga ia tak mampu lagi bergerak. Suaranya pun tertahan dan bungkam untuk sekedar memanggil sebuah kata “amak”.  Bersama lilitan rantai itu ia terpaku dan membeku. Rantai itu, saksi bisu kepergian sang ibu. Hanya suara hujan yang terdengar, semakin lama makin lebat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar