Rantai
oleh: Restia Rahmi
“Untuk apa kau masih mengikuti ujian
itu yun, tak akan ada gunanya. Bagaikan pungguk merindukan bulan jika kau masih
berharap kuliah. Siapa yang akan membiayai kuliah kau nanti? Bapak sudah
sakit-sakitan, tidak akan sanggup lagi bekerja nak.” Kalimat yang pernah dilontarkan oleh bapaknya
dulu sewaktu beliau masih hidup masih terngiang
jelas di telinga Yuni, seorang gadis 21 tahun yang begitu bersemangat
ingin melanjutkan pendidikannya ke
jenjang perguruan tinggi. Tapi apa mau dikata, bapaknya sudah tiada, dua
orang kakaknya sekarang entah di mana, sudah meninggalkan rumah semenjak lima
tahun yang lalu. Tanpa kabar berita. Entah senang hidupnya, entah susah, Yuni
pun tidak pernah tahu. Adik kecilnya dulu, sekarang sudah menginjak usia
remaja, dan bersekolah di sebuah SMP swasta di Pekanbaru, tinggal bersama makdangnya. Yuni mendengar kabar dari
orang-orang bahwa adiknya juga sengsara hidupnya di sana karena sering disiksa
oleh makdangnya sendiri dengan kejam. Sekarang ia hanya punya seseorang dalam
hidupnya, seseorang itulah yang telah melahirkannya ke dunia ini, merawat dan
membimbingnya sejak kecil, perempuan itu adalah ibunya, yang biasa dipanggil
Yuni dengan amak.
Malam semakin larut, kian menyatu
dengan sunyi. Hanya bunyi jangrik yang terdengar memecah sepi, dan sesekali
berpadu dengan desau angin yang meniup dedaunan. Yuni masih bermenung,
mengingat cerita demi cerita yang telah ia lalui. Membayangkan rentetan
peristiwa yang telah mengisi hari-harinya. Dari semua cerita itu, ternyata hanya
sebagian kecil yang mampu membuatnya tersenyum, hampir semua cerita mengukir
pilu dalam hatinya. Tapi ia seorang gadis yang tumbuh dewasa bersama
kisah-kisah pilu itu. Semua itu sudah tak asing lagi baginya, sudah terbiasa
hidup susah.
“Yuni.....Yuni.......Yuni......”
Tiba-tiba pintu kamarnya digedor dengan sangat keras. Yuni tersentak dari
lamunan panjangnya. Suara itu begitu memekakkan telinga, suara yang tidak asing
baginya. Ia seka butir-butir bening yang sejak tadi menetesi pipinya. “Iya mak,
sebentar.” Yuni berusaha selembut mungkin menjawab bentakan keras ibunya. “Di
mana kau sembunyikan kunci rumah? Cepat katakan, jika tidak aku akan
mengacak-acak isi kamar ini.” Entah untuk keberapa kali kamar berukuran sangat kecil
tempat tidur Yuni di acak-acak sang ibu. Semua yang ada di kamar yang bahkan
tidak layak di sebut kamar itu di kacau balaukan ibunya. Buku-buku yang ia beli
dengan upah mencuci yang diterimanya dari tetangga pun pernah dibakar ibunya di
kamar tersebut, yang membuat rumah hampir terbakar. Itulah yang sering
dilakukan perempuan tua itu, jika keinginannya tak diperturutkan Yuni.
Sekarang, ibunya masuk meronta-ronta dengan sangat keras, sebuah pisau yang ia
dapat entah dari mana ia pegang di tangannya, dan sekarang mengarah ke Yuni
untuk siap ditusukkan. Mata merah
perempuan itu membelalak tajam bak harimau ingin menerkam mangsanya.
Yuni kaget bukan main hingga membuatnya tak mampu berkata-kata. Ia sangat
ketakutan, keringat dingin bercucuran di leher dan pipinya berbaur dengan
genangan air mata yang tak mampu lagi dibendungnya. “Amak...aku ini anakmu.”
Hanya kalimat itu yang terucap lirih di bibir tipisnya. Ibunya semakin mendekat
dan ingin menusukkan pisau itu ke arahnya. Tiba-tiba gelap, waktu seolah
terhenti, ia semakin lemah tak berdaya pandangannya berkunang, makin lama makin
hilang.
*
* *
Pagi yang cerah, mentari tersenyum
dengat amat merekah. Namun tidak bagi Yuni, sendu, pilu berbaur jadi satu
membeku dalam kesedihan panjang yang tak berujung. Mata sembabnya sesekali
masih meneteskan butiran bening pertanda luka dalam di hatinya. Sesekali ia
juga meringis kesakitan akibat bekas tusukkan pisau di bahu kanannya. Yuni
memang sempat pingsan saat darah mulai menetes dan merembes baju kaos putih
lusuh yang dipakainya. Ia sadar saat sudah berada di rumah bidan desa yang tak
jauh dari rumahnya. Saat terbangun, ia melihat beberapa orang tetangga sedang
mengelilinginya. Semua menatap iba kepada Yuni. Entah apa yang ada dalam
pikiran mereka masing-masing, bahkan seorang ibu-ibu tua yang mungkin seumuran
dengan ibunya tidak tahan lagi membendung air matanya. “Malang sekali nasibmu
nak”, ujar ibu tua itu. “Di mana amak? Apa beliau sehat-sehat saja?” Itulah
yang paling dulu ditanyakan Yuni saat bangun dari pingsannya. “Tenang nak, amak
sudah diamankan oleh kepala desa, pikirkan saja dahulu kesehatanmu”, ucap para
tetangga itu menenangkan Yuni.
Hari kedua Yuni terpaksa menginap di
rumah bidan tersebut. Di sana tentu saja jauh lebih tenang dibandingkan dengan
rumahnya sendiri. Semua tetangga begitu prihatin terhadap kesehatan Yuni,
termasuk bidan tersebut. Ia juga menaruh iba terhadap nasib malang yang menimpa
Yuni. Meskipun demikian, Yuni masih sering ketakutan sendiri. Yuni sering
menggigil ketakutan saat terbayang kisah tragis dua hari lalu yang menimpanya.
Nyawanya hampir melayang di tangan ibu kandungnya sendiri. Untung saja,
beberapa hari berlalu kesehatannya berangsur pulih, dan ketakutan yang sering
menghantuinya itupun mulai berkurang.
Seminggu
sudah Yuni dirawat di rumah bidan desa yang tak begitu jauh dari rumahnya.
Setelah Yuni dianggap benar-benar pulih, ia diizinkan untuk kembali ke rumah.
Tapi entah mengapa hal itu justru menimbulkan kekhawatiran yang mendalam
baginya. Ia begitu takut dengan ibunya. Yuni tak bisa membayangkan hari-hari yang
melelahkan dan mencekam saat ibunya mengamuk, marah-marah dan bahkan ingin
membunuh Yuni. Sebelum Yuni pulang, seorang teman dekatnya dari kecil mengajak
Yuni untuk sementara tinggal di rumahnya, namun Yuni menolak dan memilih untuk
kembali ke rumah. Rina juga mengabarkan bahwa ibu Yuni sudah diamankan oleh
kepala desa. Kedua kaki dan tangannya dirantai. Yuni terdiam mendengar kabar
dari temannya tersebut. Entah apa yang ada dalam pikirannya. “Sudahlah Yun,
amak tidak apa-apa, itu semua juga demi keselamatan kamu.” Rina, yang seolah
mengerti apa yang dipikirkan sahabatnya tersebut mencoba menghibur Yuni. Ia
tahu yuni sangat sedih jika seseuatu menimpa ibunya. Berat memang cobaan yang
menimpa Yuni, tapi semua harus dijalani, dan Yuni tetap meyakinkan dirinya
bahwa Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kesabaran hamba-Nya.
* * *
Senja
menjelang malam. Mentari perlahan bersembunyi dan memancarkan sinar kemerahan
di arah Barat. Burung-burung kelelawar mulai berlomba-lomba pergi mencari
makan. Ada yang bergerombol bersama yang lain, dan ada pula yang terbang
sendiri. angin sore bertiup pelan seolah bercengkrama dengan dedaunan. Beberapa
orang petani menggiring kerbaunya ukntuk kembali ke kandang. Senja yang
sempurna, membuat Yuni tetap ingin berlama-lama di sana. Ia memang sering
menghabiskan senja di dangau-dangau sawah yang terletak di belakang rumahnya.
Sebatang pohon Jambu tua selalu setia menemaninya. Ia teringat masa-masa
kecilnya, saat ayah dan ibunya masih hidup bersama. Saat musim Jambu tiba, ayah
sering mengambilkan buah jambu yang banyak untuknya. Ibu hanya tersenyum
melihat Yuni kewalahan mengumpulkan buah jambu tersebut. Semua sangat indah
terasa, namun kebersamaan tersebut kini hanya terbingkai dalam sebuah kenangan.
Hidup Yuni sekarang begitu hambar, datar, dan tak berwarna.
Saat
pagi tiba, ia bangun dan menyiapkan makanan untuk ibunya yang dirantai di kamar
belakang. Setiap pagi itu pula ia tak kuasa menahan tangis melihat ibunya yang
memberontak minta dilepas dari rantai yang mengikat kedua tangan dan kakinya.
Bentakan keras yang hampir setiap saat itu membuat lecet pergelangan kaki dan
tangannya. Kadang ibunya menangis tersedu-sedu, dan hampir dalam waktu
bersamaan pula ia tertawa terbahak-bahak, dan tak jarang mengumpat berkata-kata
kotor sambil berteriak. Keadaan itulah yang harus dihadapi Yuni setiap harinya.
Di satu sisi, ia cukup aman jika ibunya dirantai seperti sekarang karena tentu
saja ibunya tidak akan bisa mengamuk dan berlaku kasar seperti yang
sudah-sudah. Tapi di sisi lain, batinnya begitu tersiksa melihat rantai yang
membelit pada kaki dan tangan seorang perempuan yang sangat dikasihinya itu.
Bagaimana pun, perempuan itu tetap ibunya.
* * *
Waktu
bergulir begitu cepat, jarum jam tetap saja berputar sebagaimana mestinya.
Putaran tersebut telah mengukir banyak cerita, menggoreskan banyak kisah. Tanpa
terasa, yuni sudah menginjak 25 tahun. Usia yang sudah tergolong matang untuk
berumah tangga. Teman-teman masa kecilnya dulu semuanya sudah menikah, bahkan
ada yang sudah mempunyai tiga anak. Yuni masih saja sendiri menikmati
hari-harinya yang sepi, berbakti merawat ibu yang kian lama kian menua termakan
usia. Setiap ada laki-laki yang mendekatinya, selalu saja mundur beraturan
setelah tahu tentang keadaan ibunya. Yuni tidak ambil pusing, semua ia serahkan
pada Yang Kuasa.
Sore
menjelang, gerimis membungkus desa. Sejak siang langit gelap, mendung pertanda
akan hujan. Angin bertiup kencang menambah sendu suasana. Yuni harus pulang,
sebelum adzan magrib berkumandang. Sejak tadi ia tak bisa konsentrasi bekerja
membersihkan rumah tempat ia biasa mencuci. Majikannya minta tolong kepada Yuni
untuk membersihkan rumah dan pekarangannya. Meski telah berusaha untuk fokus
bekerja, namun yuni tetap saja gelisah. Pikirannya tertuju pada sang ibu yang
masih tetap dirantai kedua tangannya. Pernah tiga tahun yang lalu rantai itu
dilepas karena sang ibu sudah kelihatan sedikit sehat, tapi ternyata sama saja.
Perempuan itu mengamuk lagi, berdiri di jalan depan rumahnya memaksa setiap
orang yang lewat memberikan uang kepadanya. Jika menolak, ia mengancam dengan
sebuah pisau ditangannya. Keadaan itu tentu saja menggelisahkan warga. Kepala
desa pun ambil kebijakan untuk kembali merantai kedua tangan dan kakinya. Tapi
dua minggu yang lalu, kaki perempuan tersebut luka dan bernanah akibat gesekan
rantai dengan kakinya saat ia berusaha berontak untuk melepaskan ikatan
tersebut. Kedua ikatan di kakinya pun dilepas, sehingga hanya kedua tangannya
saja yang tetap diikat. Setelah minta izin kepada sang majikan, Yuni bergegas
pulang ke rumahnya. Untung saja ia tidak lupa membawa payung di tas lusuh
satu-satunya yang ia punya. Ia kembangkan payung tersebut, dan dengan perasaan
yang tetap gelisah ia berjalan menelusuri jalan setapak menuju rumahnya.
Langit
yang sejak tadi tertahan tidak bisa dibendung lagi. Gerimis berganti menjadi
hujan lebat yang membasuh seluruh desa. Angin kencang yang tadi ingin membawa
awan hitam akhirnya mengalah demi hujan. Buru-buru Yuni masuk ke dalam rumah.
Dengan pakaian separuh basah ia cepat-cepat menuju kamar belakang tempat ibunya
dirantai. Ia dapati ibunya seperti tertidur pulas membelakang ke arahnya. Ia
tersenyum lega melihat sang ibu tengah terdidur pulas. Ia berbalik arah menuju
ke kamarnya karena tidak ingin menggaggu tidur sang ibu. Setelah ia mandi dan
shalat maghrib, ia lirik jam tua yang digantung pada dinding rumahnya. Pukul
19.00 WIB. Teringat akan ibunya yang belum makan, ia buru-buru mengambilkan
nasi yang siang tadi sempat dimasaknya, dan diantarkan ke kamar tempat ibunya dirantai.
“Mak...mak....yuni membawakan amak makanan, dimakan dulu mak, nanti baru
lanjutkan lagi tidur amak.” Beberapa kali yuni membangunkan ibunya dengan
hati-hati, tapi tetap tidak ada sahutan. Yuni membalikkan badan ibunya,
ternyata sama, tetap tak ada respon. Tiba-tiba bumi seperti berhenti berputar,
isak tangis berpadu dengan hujan. Setiap tulangnya terasa lemah membuatnya tak
mampu lagi berdiri. Belitan rantai itu berputar-putar serasa siap membelit
seluruh tubuhnya hingga ia tak mampu lagi bergerak. Suaranya pun tertahan dan
bungkam untuk sekedar memanggil sebuah kata “amak”.
Bersama lilitan rantai itu ia
terpaku dan membeku. Rantai itu, saksi bisu kepergian sang ibu. Hanya suara
hujan yang terdengar, semakin lama makin lebat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar